Pilkada di DPRD Buka Peluang Money Politic Lebih Besar

Senin, 08 September 2014 – 12:06 WIB

jpnn.com - JAKARTA - Dosen Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Pangi Syarwi Chaniago, menilai argumentasi yang dibangun mengembalikan kepala daerah dipilih DPRD, sangat tidak tepat. Terutama terkait mahalnya biaya pemilu sehingga menimbulkan motif korupsi kepala daerah terpilih.

"Menurut saya sebaliknya, dengan pemilihan kepala daerah diserahkan kepada DPRD, peluang permainan politik uang dan transaksi politik tetap terbuka lebar," katanya di Jakarta, Senin (8/9).

BACA JUGA: Pilkada Lewat DPRD Tutup Peluang Calon Independen

Hal tersebut kata pria yang akrab disapa Ipang ini, dibuktikan ketika rezim Orde Baru berkuasa, politik uang berlangsung di tataran DPRD dibuktikan ketika rezim Orde Baru berkuasa, politik uang berlangsung di tataran DPRD.

Karena itu ia berpendapat, untuk menghemat biaya politik, pemilihan langsung dapat dilakukan melalui pemilihan secara serentak, baik pemilihan presiden maupun gubernur, wali kota, dan bupati.

BACA JUGA: Buka Penyelidikan TPF Kasus Munir

Demikian juga dengan argumentasi pilkada serentak menimbulkan konflik horizontal di masyarakat. Ipang menegaskan, hal tersebut memang terjadi saat pertama kali pemilihan kepala daerah dilangsungkan. Namun kini skala maupun kualitas konflik tersebut kian menurun.

"Hanya ada beberapa daerah yang pemilukadanya terjadi konflik dari ratusan kabupaten/kota. Masyarakat kian sadar dan memahami keuntungan maupun kerugian dari berkonflik pasca-pilkada. Secara tak langsung ini menandakan kesadaran politik masyarakat mulai timbul," katanya.

BACA JUGA: PKS Sebut Jokowi dan Tim Transisi Mendikte SBY

Ipang berpendapat, hal tersebut dapat muncul karena demokrasi dan kemapanan politik membutuhkan proses dan tidak bisa instan. Namun hasilnya, permasalahan pilkada secara langsung kini perlahan mulai terpetakan. Tinggal dievaluasi dan diperbaiki kekurangan pemilukada yang sedang berjalan.

"Jangan berpikir ke belakang atau mundur. Amerika Serikat sebagai negara demokrasi terbesar di dunia saja, telah membangun sistem demokrasinya selama 300 tahun," katanya.

Sementara Indonesia, baru melaksanakan demokrasi sejak reformasi 1998 lalu, dan baru 10 tahun terakhir melaksanakan pilkada secara langsung. Karena itu menurut Ipang, Indonesia hendaknya konsisten dengan sistem politik yang dibangun.

"Jangan bolak balik alias plin plan, sekarang dikembalikan ke DPRD, 20 tahun kemudian rindu dikembalikan ke rakyat kembali," katanya. (gir/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Agar Tak Seperti Jero Wacik, Dahlan Iskan Bentengi Diri


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler