Pilkada Lewat DPRD Picu Korupsi Sistematis

Jumat, 26 September 2014 – 09:18 WIB
Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto. Foto: Dok JPNN.com

jpnn.com - JAKARTA - Pro kontra soal pilkada terus memicu kontroversi di tengah masyarakat. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun ikut memberikan pendapatnya.  Intinya, dengan tidak adanya transparansi di setiap lini partai politik, maka pilkada tidak langsung pun, justru berpotensi menimbulkan korupsi yang masif, sistematis dan by design.

"Dengan kredibilitas (parpol, red) seperti itu (tidak transparan, red), maka partai justru akan menjadi kontributor potensi korupsi yang paling signifikan dalam pemilukada tidak langsung," kata Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto kepada wartawan melalui pesan singkat, kemarin (25/9).

BACA JUGA: Gerindra: Demokrasi Selamat dengan Pilkada Lewat DPRD

Menurut Bambang, persoalan utama dalam pemilihan umum kepala daerah yakni tidak adanya akuntabilitas dan transparansi dalam setiap partai politik, terutama dalam pendanaan dana partai. Dia menyindir pengelolaan dana partai saat ini masih kalah jauh dibandingkan pengelolaan dana keuangan tempat ibadah.  

"Masalah di parlemen adalah problem hilir, karena masalah utama di hulunya adalah persoalan partai. Partai dan anggota dipastikan akan punya karakter koruptif dan kolusif  bila tidak bisa bangun sistem yang transparan dan akuntabel di dalam partai," tandasnya.

BACA JUGA: Koalisi LSM Segera Ajukan Gugatan ke MK

KPK mempertanyakan alasan sejumlah pihak yang mengatakan dengan dikembalikannya pilkada ke DPRD akan mampu meminimalisir terjadinya korupsi.

"Apakah kalau pilkada tidak langsung dijamin tidak ada permainan politik uang?" tanya dia.

BACA JUGA: Jokowi Pastikan Ada Daftar Hitam Calon Menteri

Sepengetahuannya, justru pilkada tidak langsung akan menimbulkan perpindahan pemain atau politik uang yang selama ini terjadi. Bukan masyarakat selaku pemilih langsung yang berbuat melainkan lebih parah lagi para penentu keputusan di DPR-lah yang menjadi pelaku kejahatan.

"Dalam pemilu langsung, pelakunya adalah pemilih. Namun jenis korupsinya hanya untuk urusan perut hari itu saja," tekan dia.

Namun dalam pilkada tidak langsung, maka jenis korupsi yang dilakukan oleh anggota parlemen akan berlangsung dahsyat dan sistematis serta berkarakter greedy corruption atau bahkan corruption by system.

"Akibatnya korupsinya bisa sangat struktural karena korupsi pada jenis ini nilai korupsinya sangat besar. Bisa sepanjang pemerintahan kepala daerah, dana APBD dan APBN yang akan dijarah serta merusak trust publik pada kekuasaan," papar Bambang.

Dari data korupsi yang dirilis oleh Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri sejak 2004 - 2012, sambungnya, ada 290 kasus korupsi yang menjerat kepala daerah. KPK sendiri, katanya, menangani sekitar 52 kasus. Dari sejumlah kasus tersebut, menurutnya kasus korupsi kepala daerah justru terjadi pascapilkada dan tidak ada sangkut pautnya dengan pilkada langsung.

"Yaitu melakukan penyuapan terhadap Akil Muchtar, seperti misalnya antara lain dalam kasus Romi Herton (Palembang), Hambit Bintih (Gunung Mas) dan lainnya," terang dia.

Lebih lanjut, kasus korupsi yang diduga punya hubungan agak langsung dengan pemilukada, sambung pria yang akrab disapa Pak BW, ini biasanya yang berkaitan dengan kasus penyuapan. Misalnya, kasus Yesaya Sombuk dari Biak Numfor yang disuap. Berdasarkan data dan fakta-fakta di atas, pihaknya meyakini tidak ada hubungan secara langsung antara kasus korupsi yang terjadi dengan pelaku kepada daerah disebabkan karena pemilukada langsung.

"Dalam Data KPK, 81 persen kasus korupsi kepala daerah berkaitan dengan perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan kewenangan sesuai Pasal 2 dan pasal 3 UU Tipikor," pungkas dia.(sar)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pilkada di DPRD, Ahok Kutip Pernyataan Jokowi


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler