Pilkada Sehat Berbudaya, Tanpa Brutus dan Malinkundang

Oleh: Yusuf Susilo Hartono (Bidang Pendidikan, Pelatihan dan Sosialisasi Mappilu PWI)

Kamis, 01 Oktober 2020 – 17:32 WIB
Ketua Bidang Pendidikan, Pelatihan dan Sosialisasi Mappilu PWI, Yusuf Susilo Hartono. Foto: Twitter @ys_hartono

jpnn.com - Pelaksanaan Pilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di 270 daerah, terdiri dari 9 provinsi, 224 kabupaten dan 37 kota, di masa pandemic Covid 19 ini, oleh Pemerintah, DPR, KPU akan tetap dilaksanakan 9 Desember 2020. Bahkan oleh cendekiawan Prof Azumardi Azra disebut dengan semangat rawe-rawe rantas, malang-malang putung—pokoknya jalan terus walau banyak rintangan

Oleh karena bangsa ini belum punya model Pilkada di musim pagebluk sebelumnya, maka Masyarakat dan Pers Pemantau Pemilu (Mappilu PWI) memilih tagline: “Pilkada Sehat dan Berbudaya”.

BACA JUGA: 80,5 Persen Masyarakat Tolak Pilkada di Tengah Pandemi COVID-19

Tagline ini mengandung sikap, visi misi, doa, sekaligus harapan, terhadap Pilkada Serentak 2020 yang melibatkan sekitar 100 juta orang, yang sama-sama mempertaruhkan nyawa, baik di sisi penyelenggara maupun rakyat peserta Pilkada.

Adapun pilkada sehat dan berbudaya, di dalamnya mengandung nilai: kepatuhan pada 3M (menggunakan masker, cuci tangan dan jaga jarak), sehat birokrasi, sehat anggaran, sehat permainan partai dan calonnya, hingga sehat dalam proses pelaksanaan kampanye, pencoblosan, penghitungan suara, pengawasan, hingga penegakan hukum yang berkeadilan.

BACA JUGA: Satu Lagi, Kontestan Pilkada 2020 Meninggal Dunia Karena COVID-19

Sedangkan berbudaya bisa dimaknai bersih dari politik uang, politik transaksional, bersih dari permainan dinasti, menjunjung tinggi kebenaran, kejujuran, keadilan, kepercayaan, kearifan, dan sportivitas.

Selain itu tidak menggunakan jurus Brutus  dan Malinkundang. Kedua tokoh dari latar budaya berbeda itu – Brutus dari Mitologi Yunani, dan Malinkundang dari folklore Sumatera Barat – dapat kita tafsir sebagai sosok-sosok pengkhianat yang telah membunuh orang yang berjasa, dan melupakan janji-janjinya setelah merebut kursi kekuasaan). Sehingga Sehingga Pilkada 2020 ini, dapat menghasilkan kepemimpinan yang legitimit , visioner, dan pro-rakyat.

BACA JUGA: Bawaslu Temukan Pelanggaran Kampanye Pilkada 2020 di 10 Daerah Ini

Kita sama-sama tahu dan berada di dalam demokrasi yang sedang “sakit”, akibat politik uang yang telah mengurat mengakar dari bawah sampai atas. Juga akibat dari politik dinasti, oligarki, serta banyak lagi patologi politik yang menggerogoti daulat rakyat. Oleh karena itu, mau tidak mau, kita bersama harus bisa mewujudkan Pilkada sehat dan berbudaya tersebut.

Hingga hari ini, pandemic Covid 19 di Tanah Air terus meraja lela. Data sementara menunjukkan warga yang positif Covid mencapai lebih dari 280.000 orang dari berbagai usia dan suku bangsa, sedangkan yang meninggal telah melangkahi angka psikologis 10.000.

Sementara yang sembuh (kita bersyukur) sekitar 210.000 jiwa. Kita semua khawatir, akan tersebut akan bertambah seiring dengan proses kampanye Pilkada yang dalam pelaksanaannya di lapangan diwarnai banyak pelanggaran, khususnya terkait protokol kesehatan, dan lemahnya penegakan hukum.

Seperti kita tahu, semua informasi sudah disampaikan melalui berbagai jalur “Bahasa” (tulis, visual, grafik, lisan, tubuh, isyarat, dll). Juga melalui berbagai jenis dan platform media massa maupun media sosial. Bahkan Presiden Jokowi sendiri hingga “meniren” omong soal 3 M ini. Tetapi tetap saja masih banyak orang yang tidak patuh dan melanggarnya.

Lalu apanya yang salah dong! Apa yang membuat masyarakat sulit atau tidak mau “mengubah” perilakunya? Jawabannya tentu saja banyak. Diberbagai webinar hal ini juga sering dikupas. Bisa jadi karena pilihan “bahasa”-nya tidak tepat. Atau cara penyampaiannya yang salah. Atau karena ada factor-faktor khusus: misalnya “perlawanan pasif”, tidak percaya pada otoritas, hingga karena dogma tertentu. Atau syahwat politik ingin berkuasa yang sudah demikian membara?

Mungkinkah sebagai alat penyampai pesan kini “Bahasa kekuasaan”, berada pada titik “kegagapan”, “kegamangan”dan “kurang dipercaya” di tengah pandemic Covid 19?

Ataukah pada saat ini bahasanya itu sendiri, kini sedang melakukan protes. Maklum, Bahasa Indonesia dalam konteks kekuasaan – Orde Lama, Orde Baru, Orde Reformasi, Orde Repotnasi sekarang ini – telah dipakai dengan otoritas pemaknaan tergantung kepentingan sang penguasa?

Dalam konteks hari ini, boleh jadi si Bahasa itu ingin dikembalikan pada pengertian akal budinya Kata dan angka agar diperlakukan secara bermartabat, murni dan konsekuen. Bahasa, kata dan angka, tidak dijadikan acrobat matematika baru yang konyol, bahkan jadi dongeng yang meninggalkan luka sejarah kebangsaan.

Anda tentu masih ingat, dalam Pemilu silam, 1+1 yang seharusnya 2, tetapi bisa dibahasakan menjadi 11. 9+1 = 10 bisa dibahasakan 91. Sungguh kita semua tidak mau pada Pilkada serentak di 270 daerah saat ini, masih ada dan terjadi plintiran bahasa-kata-dan angka, “acrobat matematika siluman” muncul pada saat penghitungan suara di TPS-TPS. Lalu solusinya apa? Mari kita tulus. Dalam menghadapi syahwat kekuasaan di tengah pandemic ini.

Setiap Pemilu, termasuk Pilkada, syahwat kekuasan memerlukan kontrol yang ketat dari media dan pers. Maka dalam konteks “Pilkada sehat berbudaya”, kita tidak boleh memberi ruang pada para Brutus dan Malinkundang. Adalah tugas para wartawan dari pusat sampai pelosok Indonesia, wajib menghalau Brutus-brutus dan Malinkundang-malinkundang itu dari gelanggang perpolitikan Tanah Air.

Sebab hidup dalam masyarakat yang “panglimanya adalah politik” – meskipun Indonesia super powernya kebudayaan -- kita ingin, iklim politik yang sehat dan berbudaya. Kita ingin partai-partai dan para politisinya juga yang sehat dan berbudaya, demi kemajuan besama, kemajuan bangsa Indonesia.

Memang, hidup pers/media saat ini pada umumnya berat dan susah. Seberat dan sesusah kaum tani, buruh, nelayan, pedagang kaki lima, seniman, maupun rakyat kecil pada umumnya akibat pandemic Covid-19.

Akan tetapi media sebagai pilar ke-4 demokrasi, yang terlanjur menjadi roh suatu bangsa, maka dalam kaitan dengan Pilkada serentak 2020, membereskan negeri ini dari Brutus dan Malinkundang adalah tugas mulia. Dan, khusus pada jajaran Mappilu PWI, jajaran PWI se Indonesia, dan semua wrtawan, mengawal seluruh proses Pilkada Serentak 2020 secara objektif agar menjai Pilkada Sehat dan Berbudaya -- dengan tak lupa mematuhi protokol kesehatan, merupakan fardu kifayah sekaligus fardu ain. Merupakan tugas bersama sekaligus tugas pribadi.***


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler