Pilkada Serentak dan Momentum Menjaga Pertumbuhan Ekonomi

Oleh Dradjad H Wibowo*

Selasa, 09 Januari 2018 – 14:14 WIB
Pilkada serentak 2018 diikuti 171 daerah. Ilustrasi Foto: dok.JPNN.com

jpnn.com - Saya membuka tulisan ini dengan penuh harapan. Yakni agar Indonesia pada 2018 ini benar-benar bisa menjaga momentum pertumbuhan ekonomi sehingga tak hilang begitu saja.

Momentum ini muncul setidaknya karena dua faktor. Pertama, perekonomian global sedang menguat. Kedua, adanya 171 pilkada serentak yang berpotensi menguatkan daya beli dan konsumsi rumah tangga, terutama di daerah.

BACA JUGA: Syafruddin Pastikan 3 Pati Polri Sudah Mundur demi Pilkada

Mari kita lihat dari sisi global. Kita tahu akhir-akhir ini pertumbuhan ekonomi Indonesia berjalan di tempat. Pada 2014, pertumbuhan ekonomi nasional hanya 5,01 persen.

Angka itu turun ke 4,88 persen pada 2015. Tapi pada 2016, angka pertumbuhan ekonomi nasional naik ke angka 5,02 persen. Sedangkan 2017, pertumbuhan terlihat stagnan sekitar 5,00-5,05 persen.

BACA JUGA: Jumlah ASN Yang Ikut Pilkada 2018 Diprediksi Meningkat

Kondisi ini tentu memprihatinkan, karena ekonomi dunia sebenarnya sedang sangat positif. Zona Euro yang selama ini “sakit” misalnya, pada 2017 tumbuh 2,6 persen year on year (YoY) sehingga menjadi yang tertinggi sejak triwulan pertama 2011 (Q1/2011). Purchasing Managers’ Index (PMI) Zona Euro mencapai 60,6, atau tertinggi sejak adanya PMI mulai Juni 1997.

BACA JUGA: Suhendra: Pilkada Jangan Sampai Merobek Persatuan

Dradjad H Wibowo.

Negara tetangga seperti Singapura tumbuh melejit ke 3,5 persen, atau hampir dua kali lipat dari perkiraan awal tahun. Bahkan pada Q3/2017, ekonomi Singapura tumbuh 5,2 persen.

Jarang-jarang Singapura bisa seperti ini. Perkiraan pertumbuhan global juga terus direvisi ke atas, terakhir sekitar 3,2 persen.

Tren perdagangan global sedang sangat positif. Ini terlihat dari the Baltic Dry Index yang melonjak dari 900 pada awal 2017 menjadi 1400 pada akhir 2017.

Dow Jones Industrial Average menembus 25.000. Pasar modal mulai dari London hingga Tokyo ikut memecahkan rekor. Undang-undang pajak yang baru dari Donald Trump ikut memberi sentimen positif bagi pelaku pasar modal.

Singkatnya, ekonomi global sedang menguat. Mayoritas pelaku dan analis pasar dunia juga cenderung optimistis melihat 2018. Memang ada risiko seperti tingkat dan tren utang China, kebijakan proteksionis Trump dan Brexit. Tapi secara umum, ekspektasi dunia sedang positif.

Harga komoditi juga naik pesat. Bloomberg Commodity Spot Index (BCOMSP) saat ini berada pada level 358,4 atau tertinggi sejak 2016. BCOMSP adalah indeks harga spot dari komoditas dunia. Selama 2017, BCOMSP naik 7,43 persen.

Bagi Indonesia, BCOMSP merupakan indikator penting. Sebab, pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat dipengaruhi oleh ekspor dan harga komoditas.

Oleh sebab itu, jika harga komoditas tumbuh di atas 7 persen namun ekonomi nasional hanya tumbuh 5 persen, berarti ada yang salah di sektor domestik.

Di pasar keuangan, kondisinya pun sangat positif. Indeks Morgan Stanley Capital International (MSCI) -sebuah indeks pertumbuhan pasar modal dunia- melejit rata-rata 22 persen di 47 negara selama tahun 2017.

Di sisi domestik, pada 2018 akan ada 171 pilkada serentak. Memang ada risiko politik di sini.

Namun, saya melihat pilkada lebih bernilai positif bagi perekonomian. Kenapa? Karena belanja KPU dan calon kepala daerah bisa menguatkan daya beli dan konsumsi rumah tangga, terutama di daerah.

Saat ini proporsi konsumsi rumah tangga adalah sekitar 55-56 persen PDB. Hitungan kasar saya, belanja pilkada bisa menyumbang tambahan pertumbuhan konsumsi sekitar 0,2-0,3 persen.

Ini jika efek multiplier-nya tidak dihitung, yang mungkin cukup besar karena yang naik adalah konsumsi di daerah.

Dengan dua faktor di atas, seharusnya Indonesia bisa mendobrak stagnansi pertumbuhan pada tahun 2018. Target 5,4 persen semestinya bisa relatif mudah dicapai.

Jika ingin lari lebih kencang, memang pemerintah perlu membenahi faktor domestik yang membuat kita kehilangan momentum tahun 2017. Contohnya antara lain kebijakan populis anti-bisnis dari beberapa beberapa kementerian serta kelemahan implementasi kebijakan ekspor dan investasi.(*****)

*Penulis adalah ekonom dan anggota Dewan Kehormatan PAN

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Hinca Mengaku Cocok dengan Hasto untuk Satu Hal Ini


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler