JAKARTA - Rencana pemerintah untuk menggelar pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara bersamaan atau serentak makin mengerucut. Bahkan, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sudah memperhitungkan bahwa Pilkada serentak akan dilakukan pada 2015 dan 2018.
Pelaksana tugas Kepala Pusat Penerangan Kemendagri, Reydonnizar Moenek, mengungkapkan, pada prinsipnya sudah ada kesepakatan antara pemerintah dan Komisi II DPR perihal pelaksanaan Pilkada serentak. Namun, pelaksanaannya harus dibagi dalam dua gelombang karena untuk disesuaikan dengan habisnya masa jabatan kepala daerah.
"Pada 2015 itu Pilkada serentak untuk 279 daerah, sedangkan 2018 ada 244 daerah. Ini minus Yogyakarta yang punya mekanisme tersendiri dalam penyelenggaraan Pilakda," kata Reydonnizar di Jakarta, Selasa (7/5).
Menurutnya, Pilkada serentak pada 2015 dikhususkan bagi daerah yang masa jabatan kepala daerahnya habis pada 2014. "Jadi kita tunjuk pejabat sementara, sampai dengan digelarnya pilkada serentak 2015," ucap Reydonnizar.
Sedangkan Pilkada serentak 2018, sebut birokrat yang akrab dengan panggilan Doni itu, dikhususkan bagi daerah yang masa jabatan kepala daerahnya berakhir pada 2016 atau 2017. "Jadi ditunjuk penjabat kepala daerah satu atau dua tahun hingga terselenggaranya Pilkada serentak 2018," urainya.
Lantas apa payung hukum bagi Pilkada serentak itu" Doni menuturkan, ada dua opsi untuk itu. Opsi pertama adalah melalui revisi UU Pemerintahan Daerah. "Yang kedua pakai payung hukum RUU Pilkada," cetusnya.
Ditambahkannya pula, bukan tidak mungkin nantinya Pilkada akan digelar bersamaan dengan Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden. "Kita berharap soal itu (Pilkada bareng pemilu, red), apakah nanti pada 2021 atau 2023. Bisa atau tidak, kita lihat saja," pungkasnya.(ara/jpnn)
Pelaksana tugas Kepala Pusat Penerangan Kemendagri, Reydonnizar Moenek, mengungkapkan, pada prinsipnya sudah ada kesepakatan antara pemerintah dan Komisi II DPR perihal pelaksanaan Pilkada serentak. Namun, pelaksanaannya harus dibagi dalam dua gelombang karena untuk disesuaikan dengan habisnya masa jabatan kepala daerah.
"Pada 2015 itu Pilkada serentak untuk 279 daerah, sedangkan 2018 ada 244 daerah. Ini minus Yogyakarta yang punya mekanisme tersendiri dalam penyelenggaraan Pilakda," kata Reydonnizar di Jakarta, Selasa (7/5).
Menurutnya, Pilkada serentak pada 2015 dikhususkan bagi daerah yang masa jabatan kepala daerahnya habis pada 2014. "Jadi kita tunjuk pejabat sementara, sampai dengan digelarnya pilkada serentak 2015," ucap Reydonnizar.
Sedangkan Pilkada serentak 2018, sebut birokrat yang akrab dengan panggilan Doni itu, dikhususkan bagi daerah yang masa jabatan kepala daerahnya berakhir pada 2016 atau 2017. "Jadi ditunjuk penjabat kepala daerah satu atau dua tahun hingga terselenggaranya Pilkada serentak 2018," urainya.
Lantas apa payung hukum bagi Pilkada serentak itu" Doni menuturkan, ada dua opsi untuk itu. Opsi pertama adalah melalui revisi UU Pemerintahan Daerah. "Yang kedua pakai payung hukum RUU Pilkada," cetusnya.
Ditambahkannya pula, bukan tidak mungkin nantinya Pilkada akan digelar bersamaan dengan Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden. "Kita berharap soal itu (Pilkada bareng pemilu, red), apakah nanti pada 2021 atau 2023. Bisa atau tidak, kita lihat saja," pungkasnya.(ara/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Maju Jalur Independen, Ketua DPC Golkar Terancam Dipecat
Redaktur : Tim Redaksi