Pilkada Serentak Harus Bersih dari Provokasi SARA

Jumat, 02 Februari 2018 – 02:20 WIB
Kotak suara untuk Pilkada. Ilustrasi Foto: dok.JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Potensi munculnya radikalisme menjelang Pilkada Serenta 2018 sangat besar.

Selain itu, isu berbau suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) juga berpotensi muncul.

BACA JUGA: Jangan Gunakan Medsos untuk Sebar Isu SARA saat Pilkada

“Karena itu, pemerintah, terutama Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mesti mewaspadai kemungkinan itu sedini mungkin,” ujar salah satu kelompok ahli BNPT Syaiful Bakhri, Kamis (1/2/2018).

Menurut dia, masyarakat itu terbagi dalam tiga lapisan yaitu elite, menengah, dan akar rumput (bawah).

BACA JUGA: Asah Jagoan di Pilkada, PDIP Gelar Sekolah Partai Lagi

Dari ketiga lapisan itu, lapisan akar rumput yang paling mudah terprovokasi.

Sementara itu, kalangan elite adalah kelompok yang bisa memprovokasi.

BACA JUGA: Bawaslu Cegah Isu SARA Lewat Tausiah

Di sisi lain, kelompok menengah relatif netral dan tidak terlalu mempersoalkan siapa yang mau jadi pemimpin.

“Kalangan kelas atas biasanya punya desain untuk mempertahankan posisi mereka. Caranya dengan masuk partai politik dan pergaulan elite lainnya. Meski jumlahnya sedikit, kalangan atas yang memiliki uang inilah yang bisa kerja sama atau membiayai provokator,” jelas pria yang juga rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) ini.

Karena itu, dia mengajak seluruh masyarakat untuk mewaspadai terjadinya provokasi dan kampanya hitam, terutama yang mengatasnamakan SARA dalam Pilkada Serentak 2018.

Selama ini, lanjut Syaiful, Indonesia sudah berjalan dengan baik dan telah berpengalaman menjalankan pesta demokrasi terbuka, baik pilkada, pemilu legislatif, dan pemilihan presiden (Pilpres).

Berdasar pengalamannya, pada penyelenggaraan pesta demokrasi itu selalu terjadi gesekan tapi tidak menimbulkan konflik yang bersifat nasional, tapi hanya kedaerahan.

Karena itu, dia kepolisian bertugas dengan baik selama mengawal pelaksaan pesta demokrasi itu.

Selain itu, masyarakat juga harus terlibat dalam menjaga keamanan dan ketertiban.

Dengan demikian, sekecil apa pun kemungkinan terjadinya gesekan bisa diantisipasi dari tingkat paling bawah.

“Perebutan kekuasaan melalui pemilu ini kan konstitusional. Maka, hasilnya pun konstitusional. Kalau hasilnya konstitusional maka yang kalah pasti menerimanya. Bila ada banyak catatan alasan kekalahan, maka bisa dilakukan secara konstitusional di Mahkamah Konstitusi. Kalau selesai di MK maka juga semuanya akan berakhir. Itulah ciri bahwa kewenangan konstitusional ada pada masyarakat. Saya kira masyarakat kita sudah dewasa dan memahami hal ini,” paparnya.

Mantan wakil Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2010-2015 menilai keberadaan pengamat juga bisa menjadi pemicu terjadinya keributan saat pelaksaan pemilu.

Menurut dia, banyak pengamat kadang datangnya secara mendadak dan malah tidak punya kompetensi bisa tampil di media.

Bahkan, di antara mereka kemampuan narasinya juga payah ditambah logikanya yang sempit.

Pengamat yang seperti inilah yang harus diawasi karena bisa menjadi provokator yang bisa menyulut ketidakpuasan di masyarakat. Apalagi, pengamat tersebut berbicara tergantung order.

“Apakah benar orang yang sekolahnya ekonomi, politik, sosial, hukum, bisa menjadi pengamat? Ilmu itu spesifik keahliannya. Orang yang punya potensi keahlian spesifik itulah yang harusnya bicara. Kalau tidak bisa mengakibatkan sentimen dan kontroversi di masyarakat. Belum lagi kalau pengamat itu by order. Pengamat seperti ini bisa jadi hanya akan menambah emosional masyarakat,” terang Syaiful.

Begitu juga lembaga survei. Semua harus dilakukan secara akademik dan terbuka. Seharusnya hasil survei jangan dipublikasi dan hasilnya digunakan untuk merancang program calon atau partai politik tertentu.

Pasalnya, survei itu dilakukan dengan metode berbeda-beda sehingga hasilnya pun tidak sama.

Menurut dia, hal itu bisa mengganggu harmonisasi dan gampang memancing keributan di masyarakat.

“ Kita semuanya harus jadi ‘polisi’ bagi negeri kita, bukan hanya polisi berseragam itu, tapi diri kita dan masyarakat. Dengan pembelajaran yang bagus dan metodologi yang logis, maka kita dan masyarakat akan bisa menjaga sendiri sehingga tidak mudah termakan provokasi,” kata Syaiful. (jos/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ini Penjelasan Kemendagri Soal Jenderal jadi Plt Gubernur


Redaktur & Reporter : Ragil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler