JAKARTA - Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon mengatakan mekanisme Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang diselenggarakan sejak 2005, harus segera dievaluasi.
"Pasalnya, Pilkada ini sangat tak efisien, baik secara anggaran maupun pelaksanaan," kata Fadli, Sabtu (16/2). Dia menambahkan, pembiayaan pilkada selama ini diambil dari dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Menurutnya, untuk pilkada kabupaten dan kota saja minimal menghabiskan Rp 25 miliar dan provinsi minimal Rp 100 miliar. Bagi daerah yang memiliki pendapatan rendah, kata dia, biaya sebesar itu jelas memboroskan anggaran daerahnya.
Hal tersebut akan mempengaruhi alokasi untuk pendidikan, kesehatan, atau pembangunan infrastruktur lainnya di daerah tersebut. Karenanya, tambahnya, pembiayaan pilkada lebih baik dialokasikan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bukan APBD.
Sebab, jika dari APBD, peluang politisasi anggaran sangat besar dilakukan oleh para politisi lokal. "Namun peluangnya akan kecil bila dialokasikan dari APBN," yakinnya.
Pun demikian, kata dia, pilkada serentak juga akan membuat biaya politik (politic cost) berkurang. Artinya, mesin partai tak akan menghabiskan waktu banyak untuk pilkada.
Jadi para pejabat dan kader partai di daerah bisa lebih banyak menggunakan waktunya untuk menyelesaikan masalah rakyat. Mereka tak terlalu disibukkan oleh dinamika pilkada.
Bayangkan, kata dia, jika mesin partai setelah sibuk urusi pilkada walikota, kabupaten, lprovinsi, kapan partai bisa fokus kerja mendukung proses pembangunan pendidikan dan kesehatan bagi konstituennya? "Ini jelas tak bagus bagi kualitas demokrasi kita. Partai yang harusnya bisa turut menjadi dinamisator pembangunan justru hanya menjadi sekedar mesin politik," katanya.
Karenanya, tegas Fadli, pilkada serentak adalah suatu kebutuhan bagi demokrasi di negeri ini. "Selain menghapus biaya politik tinggi, juga akan meningkatkan kualitas demokrasi, yang esensinya harus mensejahterakan rakyat," pungkasnya. (boy/jpnn)
"Pasalnya, Pilkada ini sangat tak efisien, baik secara anggaran maupun pelaksanaan," kata Fadli, Sabtu (16/2). Dia menambahkan, pembiayaan pilkada selama ini diambil dari dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Menurutnya, untuk pilkada kabupaten dan kota saja minimal menghabiskan Rp 25 miliar dan provinsi minimal Rp 100 miliar. Bagi daerah yang memiliki pendapatan rendah, kata dia, biaya sebesar itu jelas memboroskan anggaran daerahnya.
Hal tersebut akan mempengaruhi alokasi untuk pendidikan, kesehatan, atau pembangunan infrastruktur lainnya di daerah tersebut. Karenanya, tambahnya, pembiayaan pilkada lebih baik dialokasikan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bukan APBD.
Sebab, jika dari APBD, peluang politisasi anggaran sangat besar dilakukan oleh para politisi lokal. "Namun peluangnya akan kecil bila dialokasikan dari APBN," yakinnya.
Pun demikian, kata dia, pilkada serentak juga akan membuat biaya politik (politic cost) berkurang. Artinya, mesin partai tak akan menghabiskan waktu banyak untuk pilkada.
Jadi para pejabat dan kader partai di daerah bisa lebih banyak menggunakan waktunya untuk menyelesaikan masalah rakyat. Mereka tak terlalu disibukkan oleh dinamika pilkada.
Bayangkan, kata dia, jika mesin partai setelah sibuk urusi pilkada walikota, kabupaten, lprovinsi, kapan partai bisa fokus kerja mendukung proses pembangunan pendidikan dan kesehatan bagi konstituennya? "Ini jelas tak bagus bagi kualitas demokrasi kita. Partai yang harusnya bisa turut menjadi dinamisator pembangunan justru hanya menjadi sekedar mesin politik," katanya.
Karenanya, tegas Fadli, pilkada serentak adalah suatu kebutuhan bagi demokrasi di negeri ini. "Selain menghapus biaya politik tinggi, juga akan meningkatkan kualitas demokrasi, yang esensinya harus mensejahterakan rakyat," pungkasnya. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kubu Anas Anggap Ulil Hanya Umbar Ocehan
Redaktur : Tim Redaksi