Pilot Indonesia di Maskapai Kroni Pemimpin Junta Militer Myanmar

Gaji Empat Kali Lipat, Sering Dicarter Para Jenderal

Senin, 29 November 2010 – 08:08 WIB

Di Myanmar, ada satu maskapai penerbangan yang kerap menjadi rasan-rasan rakyatnyaYakni, Air Bagan

BACA JUGA: Basrief Arief, Penasehat Takmir Masjid yang Jadi Jaksa Agung Baru

Pemiliknya, Tay Za, merupakan menantu kesayangan pemimpin tertinggi junta militer, Than Shwe
Ada tiga pilot dari Indonesia yang bekerja di perusahaan penerbangan itu

BACA JUGA: Negara Tanpa Pajak, Penuh Hiasan Taman Buatan



======================
TOMY C
GUTOMO, Yangon
======================

KEKUASAAN Than Shwe di Myanmar telah menggurita ke berbagai sektor, termasuk sektor bisnis

BACA JUGA: Keseharian Busyro, sang Ketua KPK Baru di Mata Kolega dan Keluarga

Seperti Indonesia pada zaman Orde Baru, bisnis-bisnis strategis dikuasai kroni-kroni sang jenderal senior tersebutSalah satunya, di bisnis penerbangan menantu Than Shwe, Tay Za, mendirikan maskapai Air Bagan.

Perusahaan penerbangan itu beroperasi sejak 15 November 2004Tay Za, yang menjabat chairman perusahaan tersebut, merupakan suami putri Shwe, Thida ZawMedia-media internasional kerap mengkritik Air Bagan karena memiliki keterkaitan dengan rezim militer Myanmar yang dikenal represif

Oleh Amerika Serikat dan Uni Eopa, maskapai itu di-blacklist, tidak boleh terbang di dua benua tersebutDua pesawat Air Bagan, Air Bus A310-200, mangkrak di Bandara Internasional Yangon karena tidak mendapatkan suplai suku cadang setelah disanksi Uni EropaYang beroperasi saat ini adalah Fokker 100, ATR 72, dan ATR 42.

Ternyata, di maskapai yang penuh kontroversi itu terdapat tiga pilot dari IndonesiaMereka adalah Abubakar Sidik, Sri Purwanto, dan Slamet RiyadiSecara kebetulan, Jawa Pos bertemu dengan salah seorang di antara tiga pilot itu, Abubakar Sidik, setelah salat Idul Adha di Indonesian International School Yangon

Abubakar adalah lulusan sekolah penerbangan Merpati Airlines pada 1993Dia pernah bekerja di maskapai nasional ituPada 2005, Abubakar meninggalkan MerpatiSaat itu, tutur Abubakar, dirinya dan istri punya angan-angan naik hajiMenghitung pendapatan di Merpati, dia menyimpulkan butuh waktu yang sangat lama untuk mewujudkan impian berhaji tersebut"Karena itu, saya berusaha mencari peluang di maskapai asing," ungkap pria kelahiran 4 Oktober 1969 tersebut.

Pun, menjelang pertengahan 2005, melalui perantara agen Abubakar bergabung dengan maskapai Nepal, Cormic AirNamun, di Nepal Abubakar tidak lamaSaat itu sebuah agen memberitahukan ada maskapai baru di Myanmar, Air Bagan, yang membutuhkan banyak pilotKala itu belum banyak orang Myanmar yang bisa menerbangkan pesawatKarena itu, Air Bagan mencari pilot asingTawarannya cukup menggiurkan"Akhirnya, saya coba mengajukan aplikasi ke Air Bagan," ucap suami Heni Handayani tersebut.

Sejak Juli 2005, Abubakar resmi bergabung dengan Air BaganDi tempat baru itu, semua dijaminMulai apartemen, perabot lengkap, hingga kendaraanGaji yang diterima di Air Bagan, menurut Abubakar, empat kali lipat gaji yang diterima saat bekerja di Merpati

Namun, pada tahun-tahun awal Abubakar tidak menerima gaji itu secara utuhAgen yang menghubungkan dirinya dengan Air Bagan memotong gajinya hingga 50 persenKarena merasa agen kurang fair, Abubakar mundur dari Air BaganKemudian, dia melamar lagi secara personal, tanpa perantara agen"Sekarang alhamdulillah, sudah bisa menerima gaji secara utuh," ucap ayah Muhammad Zein Ghazwan itu.

Keluarganya pernah diboyong ke YangonSituasi politik di Yangon yang kerap mencekam memang membuat istrinya sering minta pulang ke tanah airTermasuk ketika terjadi demonstrasi biksu yang rusuh pada September"Oktober 2007, Abubakar dan keluarga sudah bersiap pulang ke IndonesiaNamun, setelah melihat situasi kembali kondusif, dia memutuskan tetap tinggal di Yangon bersama dengan keluarga

Biasa hidup di Bandung dan Jakarta yang serbalengkap tentu menjadi masalah tersendiri ketika harus berada di Yangon yang jauh tertinggalAbubakar terus memberikan pengertian kepada istri dan anaknya untuk menerima kondisi"Pengalaman di Nepal membuat saya belajar untuk menerima segala kondisi," ucap dia.

Istri dan anaknya pulang ke Indonesia sejak Juni 2009Namun, penyebabnya bukan faktor keamananItu dilakukan demi pendidikan anaknya"Pendidikan di Indonesia jelas jauh lebih maju daripada Myanmar," terang Abubakar.

Di Air Bagan, Abubakar menerbangkan pesawat Fokker 100 dengan kapasitas seratus tempat dudukSaat ini dia menjalankan rute internasional ke Chiang Mai, Vietnam; Bangkok, Thailand; Kuala Lumpur, Malaysia; Singapura; Siem Reap, Kamboja; dan Kunming, RRT"Tapi, sering juga menerbangkan pesawat yang dicarter secara khusus," tambah dia.

Biasanya, jelas Abubakar, ada biro perjalanan yang memiliki banyak pelanggan dan program ke daerah tertentu yang mencarter pesawat Air BaganKadang-kadang juga sejumlah jenderal mencarter pesawat untuk kepentingan tertentu"Kalau bawa jenderal-jenderal, tentu ada protokol yang harus dipatuhi," katanyaNamun, Abubakar tidak bersedia menyebut siapa saja penumpang VVIP yang pernah dibawanya.

Mengenai standar keselamatan penerbangan, Abubakar menyatakan bahwa Air Bagan memenuhi standar Civil Aviation Authority (CAA) InggrisKarena Air Bagan secara tidak langsung terkait dengan militer, kedisiplinan dalam perawatan pesawatnya juga sangat baik"Jika dibandingkan dengan Indonesia, saya rasa lebih bagus di sini," ujar dia.

Meski Air Bagan sering disorot dan menjadi rasan-rasan publik Myanmar, Abubakar tidak risauBagi dia, selama menjalankan bisnis dengan benar dan selalu menjaga standar keselamatan penerbangan, Air Bagan akan terus hidupSelama bekerja di Air Bagan, Abubakar juga tidak begitu mengenal sosok Tay Za, menantu pemimpin tertinggi junta militer, jenderal senior Than Shwe"Yang saya dengar, dia tidak begitu suka disebut sebagai menantu Than Shwe," ungkapnya(*/c11/dos)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Mengunjungi Kandara, Lokasi Pelarian Tenaga Kerja Indonesia di Arab Saudi (2)


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler