JAKARTA--Penyebab kecelakaan pesawat Lion Air di perairan tepi bandara Ngurah Rai, Denpasar, Bali, memang masih diselidiki. Namun, apa yang terjadi sesaat sebelum pesawat tersebut jatuh memunculkan dugaan lain terkait penyebab kecelakaan tersebut. Dugaan tersebut adalah badai yang menerjang pesawat sesaat sebelum mendarat.
Sebuah sumber di lingkungan otoritas Bandara Ngurah Rai mengungkapkan, pilot Lion Air Kapten M Ghazali sempat membuat pengakuan usai kecelakaan tersebut. Dia menggambarkan situasi yang dihadapi pesawat sesaat sebelum jatuh.
Sejak awal berangkat dari Bandung, pesawat itu tidak dikemudikan oleh Ghazali yang memiliki 15 ribu jam terbang. Melainkan, kopilot yang berkebangsaan India dan memiliki 2.000 jam terbang. Mereka berdua bertukar posisi. Penerbangan yang dijadwalkan berlangsung selama satu jam 40 menit itu berlangsung lancar hingga mendekati bandara Ngurah Rai.
Saat posisi pesawat sudah mendekati bandara, pesawat dengan nomor penerbangan JT-904 itu dihantam hujan lebat dari arah depan. Dalam kondisi tersebut, lanjut sumber itu, kopilot tidak mampu melihat landasan pacu. Padahal, di belakang pesawat Lion Air sudah menunggu pesawat Garuda Indonesia yang hendak mendarat dan di landasan sudah ada pesawat lain yang siap untuk take off.
Melihat kondisi tersebut, Kapten Ghazali memutuskan untuk mengambil alih posisi sang kopilot. Pada ketinggian antara 400 dan 200 feet (122 dan 61 meter), pesawat itu terbang seperti melewati sebuah dinding air. Dalam kondisi itu, Ghazali memutuskan untuk batal mendarat dan menaikkan lagi pesawat itu.
Prosedur itu sebenarnya sudah menjadi standar di dunia penerbangan. Namun, Upayanya gagal dan pesawat itu terus menukik. "Kapten memutuskan untuk memutar, namun dia merasa pesawat terseret oleh angin. Karena itulah, dia menghantam laut," ujar sumber yang mewanti-wanti agar namanya tidak dipublikasikan itu.
Pengakuan sang pilot berbeda dengan pernyataan Kepala Stasiun Meteorologi Ngurah Rai Erasmus Kayadu. Dia menyatakan, tidak terjadi hujan saat kecelakaan itu terjadi dan jarak pandang mencapai 10 kilometer. Selain itu, kecepatan angin mencapai 11 kilometer per jam disertai banyak awan rendah, termasuk awan badai padat.
Pengakuan pilot jika dia gagal menaikkan pesawat memunculkan dugaan lain. Penyelidikan juga terfokus pada kemungkinan adanya pergeseran arah angin atau adanya arus bawah dari awan badai. Hal itu diistilahkan sebagai microburst. Dugaan tersebut didasari keterangan sejumlah saksi dan laporan cuaca.
Para ahli mengungkapkan, kondisi semacam itu (microburst) termasuk jarang terjadi. Namun, jika sampai terjadi dan melebihi kemampuan pesawat, bahkan pesawat jet yang paling modern sekalipun tidak berdaya menghadapinya. Terlebih, pada saat-saat kritis sebelum mendarat.
"Jika pesawat terjebak di arus bawah yang kekuatannya melebihi kemampuan kinerja pesawat, meskipun memakai daya dorong maksimal, pesawat tetap akan menukik dan tidak bisa keluar," ujar mantan Kapten British Aiways Hugh Dibley. Itulah yang membuat Ghazali tidak mampu menaikkan kembali pesawatnya hingga terjun bebas ke laut. (Rtr/byu)
Sebuah sumber di lingkungan otoritas Bandara Ngurah Rai mengungkapkan, pilot Lion Air Kapten M Ghazali sempat membuat pengakuan usai kecelakaan tersebut. Dia menggambarkan situasi yang dihadapi pesawat sesaat sebelum jatuh.
Sejak awal berangkat dari Bandung, pesawat itu tidak dikemudikan oleh Ghazali yang memiliki 15 ribu jam terbang. Melainkan, kopilot yang berkebangsaan India dan memiliki 2.000 jam terbang. Mereka berdua bertukar posisi. Penerbangan yang dijadwalkan berlangsung selama satu jam 40 menit itu berlangsung lancar hingga mendekati bandara Ngurah Rai.
Saat posisi pesawat sudah mendekati bandara, pesawat dengan nomor penerbangan JT-904 itu dihantam hujan lebat dari arah depan. Dalam kondisi tersebut, lanjut sumber itu, kopilot tidak mampu melihat landasan pacu. Padahal, di belakang pesawat Lion Air sudah menunggu pesawat Garuda Indonesia yang hendak mendarat dan di landasan sudah ada pesawat lain yang siap untuk take off.
Melihat kondisi tersebut, Kapten Ghazali memutuskan untuk mengambil alih posisi sang kopilot. Pada ketinggian antara 400 dan 200 feet (122 dan 61 meter), pesawat itu terbang seperti melewati sebuah dinding air. Dalam kondisi itu, Ghazali memutuskan untuk batal mendarat dan menaikkan lagi pesawat itu.
Prosedur itu sebenarnya sudah menjadi standar di dunia penerbangan. Namun, Upayanya gagal dan pesawat itu terus menukik. "Kapten memutuskan untuk memutar, namun dia merasa pesawat terseret oleh angin. Karena itulah, dia menghantam laut," ujar sumber yang mewanti-wanti agar namanya tidak dipublikasikan itu.
Pengakuan sang pilot berbeda dengan pernyataan Kepala Stasiun Meteorologi Ngurah Rai Erasmus Kayadu. Dia menyatakan, tidak terjadi hujan saat kecelakaan itu terjadi dan jarak pandang mencapai 10 kilometer. Selain itu, kecepatan angin mencapai 11 kilometer per jam disertai banyak awan rendah, termasuk awan badai padat.
Pengakuan pilot jika dia gagal menaikkan pesawat memunculkan dugaan lain. Penyelidikan juga terfokus pada kemungkinan adanya pergeseran arah angin atau adanya arus bawah dari awan badai. Hal itu diistilahkan sebagai microburst. Dugaan tersebut didasari keterangan sejumlah saksi dan laporan cuaca.
Para ahli mengungkapkan, kondisi semacam itu (microburst) termasuk jarang terjadi. Namun, jika sampai terjadi dan melebihi kemampuan pesawat, bahkan pesawat jet yang paling modern sekalipun tidak berdaya menghadapinya. Terlebih, pada saat-saat kritis sebelum mendarat.
"Jika pesawat terjebak di arus bawah yang kekuatannya melebihi kemampuan kinerja pesawat, meskipun memakai daya dorong maksimal, pesawat tetap akan menukik dan tidak bisa keluar," ujar mantan Kapten British Aiways Hugh Dibley. Itulah yang membuat Ghazali tidak mampu menaikkan kembali pesawatnya hingga terjun bebas ke laut. (Rtr/byu)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kerugian Negara Belum Tentu Masuk Ranah Pidana
Redaktur : Tim Redaksi