Pinangki

Kamis, 17 Juni 2021 – 09:15 WIB
Pinangki Sirna Malasari saat mengikuti sidang di Pengadilan Tipikor, beberapa waktu lalu. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Guyonan lawas soal kasus korupsi di Indonesia itu layak dimunculkan lagi.

Di Arab Saudi koruptor dipotong tangannya. Di China koruptor dipotong lehernya. Di Indonesia koruptor dipotong masa hukumannya.

BACA JUGA: Hukuman Pinangki Sirna Malasari Seharusnya Lebih Berat

Mungkin sudah tidak lucu lagi karena sudah terlalu sering terjadi.

Kali ini Pinangki Sirna Malasari, mantan jaksa yang terbukti melakukan kongkalikong untuk menyelundupkan kembali Djoko Sugiarto Chandra ke Indonesia.

BACA JUGA: Pengadilan Tinggi DKI Sunat Hukuman Pinangki, Dihukum Lebih Ringan dari Vonis

Pinangki divonis sepuluh tahun, tetapi keputusan banding di Pengadilan Tinggi Jakarta mendiskon hukuman itu 60 persen dan sisa 40 persen saja alias empat tahun.

Alasannya sungguh manusiawi. Pinangki menyesal dan menerima dipecat sebagai jaksa, dan dia adalah seorang ibu yang masih punya balita.

BACA JUGA: Tok Tok Tok! Sebegini Vonis Djoko Tjandra Penyuap 2 Jenderal Polisi dan Jaksa Pinangki

Hakim tidak menyebut faktor yang harusnya memberatkan Pinangki, yaitu dia jaksa di Kejaksaan Agung.

Seorang aparat hukum yang melanggar dan memperjualbelikan hukum seharusnya dihukum lebih berat dari masyarakat umum.

Kejahatan yang dilakukan Pinangki bukan kejahatan biasa, tetapi sebuah kejahatan terorganisasi yang rapi dan berjaringan luas.

Apa yang dilakukan Pinangki termasuk kejahatan terorganisasi atau "organized crime" yang makin membuat pondasi hukum Indonesia keropos.

Dalam merencanakan kejahatannya Pinangki membuat proposal dan action plan, mirip seperti pengerjaan sebuah proyek besar lengkap dengan rincian biaya yang harus dikeluarkan.

Di dalam action plan itu terungkap rincian jalan yang harus dilewati termasuk pintu-pintu mana saja yang harus dibuka.

Tentu, membuka pintu butuh biaya tersendiri.

Dalam sidang Pinangki terungkap ada sepuluh action plan yang ditulis Pinangki dalam bentuk proposal, berisi tahapan-tahapan pembebasan Djoko Tjandra.

Dalam proposal itu Pinangki mengajukan anggaran 100 juta dolar AS, yang kemudian oleh Djoko Tjandra disetujui sebesar 10 juta dolar AS atau sekitar Rp 150 miliar.

Action plan ini menjadi heboh karena menyebut-nyebut nama para petinggi hukum di kejaksaan termasuk jaksa agung dan mantan ketua Mahkamah Agung (MA).

Tentu saja tuduhan dalam action plan ini dibantah.

Action plan Pinangki itu mengungkap bahwa kasus-kasus korupsi besar selalu bersilang-sengkarut, melibatkan berbagai institusi hukum mulai dari kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman. Seperti air yang mengalir sampai jauh, korupsi juga mengalir sampai jauh dan sulit dilacak.

Dalam persidangan korupsi terhadap mantan menteri kelautan Edhy Prabowo yang sekarang tengah berlangsung, terungkap ada kata sandi "ember". Salah satu saksi mengatakan bahwa sudah ada uang satu ember yang diterima. Hakim menyergah dan menanyakan apa yang dimaksud dengan "ember", saksi menjawab ember berarti miliar. Satu ember artinya satu miliar.

Beberapa waktu yang lalu ketika banyak kasus korupsi dibongkar oleh KPK, terungkap beberapa kata sandi yang dipakai oleh para koruptor.

Pada 2012 anggota DPR RI, Angelina Sondakh, divonis 12 tahun penjara setelah banding, ditambah denda Rp 500 juta karena terbukti menerima uang haram.

Salah satu sandi yang dipakai Sondakh adalah "apel Washington" untuk menyebut pembayaran dengan mata uang dolar Amerika.

Sejak itu bermunculan kata-kata sandi yang kemudian banyak dipakai dalam pembicaraan umum dan menjadi kosakata dan diksi baru.

Misalnya kata "meter" dipakai untuk menyebut "miliar", karena singkatannya sama-sama huruf "M".

Sepuluh meter berarti sepuluh miliar. Lalu ada kata "ton" untuk menyebut "triliun" karena awalannya sama-sama huruf "T". Satu ton berarti satu triliun.

Bahasa dan semiotika korupsi memang selalu rumit dan berbelit. Dr Aceng Abdullah, pakar komunikasi dari Universitas Padjadjaran, Bandung meneliti semiotika korupsi ini dalam disertasi doktoralnya berjudul "Komunikasi Korupsi: Studi Etnografi Komunikasi Tentang Bahasa yang Digunakan dalam Aktivitas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme" (2013).

Abdullah menemukan adanya bahasa isoterik yang hanya dipakai dan dipahami secara terbatas dan tertutup di kalangan pelaku korupsi.

Abdullah mengidentifikasi sedikitnya sebelas istilah yang banyak dipakai untuk mengaburkan korupsi, misalnya uang lelah, uang bensin, dan bahkan shodaqah.

Studi terbaru dari Aspinall dan Berenschot (2019) "Democracy for Sale" juga menyoroti peliknya korupsi klientelisme yang melibatkan anggaran negara, melalui bagi-bagi proyek dari pejabat (patron) dan pengusaha (klien) sebagai imbalan dukungan politik.

Setiap kali ada hajatan pilkada selalu ada transaksi jual beli dukungan antara calon dengan investor.

Menkopolhukam Mahfud MD mengakui bahwa 92 persen pilkada didanai oleh cukong.

Karena itu setelah calon menang dia melakukan korupsi anggaran untuk membayar modal para cukong.

Korupsi anggaran biasanya direncanakan dengan rapi sehingga bau korupsinya bisa tersembunyi.

Korupsi patron-klien ini meluas dan menjadi pola korupsi di Indonesia.

Orang yang punya kewenangan tertentu menjual kewenangan dengan imbalan tertentu.

Korupsi patron-klien semacam ini selalu terselubung halus dan tidak gampang terendus, karena dilakukan dalam action plan yang lembut, profesional, dan canggih.

Kasus Djoko Tjandra dan Pinangki menjadi drama korea yang menegangkan dan kompleks, karena melibatkan institusi Kejaksaan, Kepolisian, dan Parlemen.

Sudah ada jenderal polisi yang dihukum, sudah ada anggota dewan yang dibui.

Masyarakat menunggu apakah akan ada atasan Pinangki di Kejaksaan Agung yang bakal diungkap namanya.

Namun, ternyata drama korea berakhir mengecewakan. Alih-alih ada petinggi lain yang diungkap keterlibatannya, hukuman Pinangki malah dikorting seperti barang obralan. (*)


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler