jpnn.com - BELAKANGAN marak diberitakan rencana pemindahan makam Tan Malaka dari Selopanggung, Kediri ke kampung halamannya di Suliki, 50 Kota, Payakumbuh, Sumatera Barat. Ada yang kontra, banyak yang pro. Ia digadang-gadang sebagai tokoh komunis.
Merawi sejarah, Tan Malaka adalah orang pertama yang meramu gagasan lahirnya Republik Indonesia.
BACA JUGA: Kisah Saudagar Tionghoa Asal Semarang ini Pukau Sineas Hollywood
Ia mengurai buah pikir itu melalui buku Naar De Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) yang terbit pada 1925--dua puluh tahun sebelum Indonesia merdeka.
Tak ayal jika ia digelari Bapak Republik. Dan Bung Karno menganugerahinya gelar pahlawan nasional melalui SK Presiden No. 53 tahun 1963.
BACA JUGA: Ternyata...Orang Tua Bung Karno Kawin Lari
Semasa perang revolusi kemerdekaan Indonesia, Tan Malaka yang ikut berjibaku angkat senjata mempertahankan kemerdekaan negeri ini dari rongrongan Belanda tiba-tiba hilang.
Tak ada yang tahu di mana rimbanya. Kalau pun mati, entah di mana kuburnya.
BACA JUGA: Bung Karno pun Keturunan Pahlawan Bali
Di kemudian hari, seorang ilmuwan menelusuri jejak hidup Tan. Namanya Harry Albert Poeze, pernah menjabat Direktur KITLV, Leiden, Belanda.
Hampir separuh hidupnya diabdikan meneliti Tan. Puncak temuan Poeze adalah menemukan makam Tan Malaka. Sekaligus siapa pembunuhnya.
Nah, baru-baru ini Wakil Bupati 50 Kota, Payakumbuh, Sumatera Barat Ferizal Ridwan ziarah. Dari situ, ia mengemukakan pendapat melalui akun facebook. Berikut ini kami cuplik secara utuh…
"Sebagai putra daerah yang juga merasa peduli dengan kiprah dan perjuangan Tan Malaka, izinkan saya ikut menyampaikan pendapat dan pikiran kami terhadap rencana pemindahan jasad suhada, Tan Malaka.
Ada beberapa alasan logis perlunya gagasan atas rencana pemindahan jasad Tan Malaka dari Selopanggung, Kediri ke Pandamgadang, Suliki:
Pertama, Ibrahim Dt Tan Malaka adalah seorang niniak mamak atau pemimpin kaum (Penghulu) yang memiliki gelar sako tertinggi di salingkuang adat Pandamgadang, Suliki.
Dalam adat budaya Minangkabau, yang menganut sistim materiakat/materilineal alias menurut garis keturunan Ibu, setiap penghulu yang wafat, maka ia akan dimakamkan di tanah kampung/tanah kaum Ibu.
Bahkan ada prosesi pemindahan soko atau gelar, dengan cara "penjemputan" oleh kemenakan kaum.
Kedua, rekam jejak Tan Malaka, seperti kita ketahui dari reverensi buku-buku dan para saksi sejarah, dinilai belum terlalu terang, kendati pemerintah pusat sudah mengakui Datuk kami sebagai pahlawan nasional berdasarkan Kepres RI No 53 Tahun 1963.
Masih terlalu banyak yang perlu digali, baik dari segi pemikiran, perjalanan hidup, gagasan, visi, misi dan cita-cita mulia Tan Malaka, untuk dipelajari dan kita teruskan kepada generasi penerus dan masyarakat.
Kami menilai, ini pula sebagai bentuk kompensasi atas jasa Tan Malaka bagi negeri ini.
Ketiga, lahirnya ide atas wacana pemindahan jasad Tan Malaka bermula, karena adanya permintaan dari pihak kaum dan keluarga Tan Malaka di Pandamgadang.
Di samping itu juga, karena alasan kuatnya desakan para tokoh di Kabupaten Limapuluh Kota dan Sumatera Barat, yang begitu peduli dengan peranan perjuangan 'Sang Datuk' pada era revolusi.
Sebagaimana diyakini, bahwa Datuk Ibrahim Tan Malaka adalah salah satu tokoh yang ikut berperan menggagas lahirnya Republik Indonesia yang kita cintai hingga kini.
Keempat, sebagai orang yang telah berjasa karena telah mendirikan pondasi republik, saya merasa seluruh komponen negara, mulai dari unsur pemerintahan, legislatif, swasta hingga masyarakat sampai ke tingkat bawah, wajib dan perlu menghargai jasa seorang pahlawan revolusioner bernama Ibrahim Datuk Tan Malaka.
Karena, kita tentu meyakini, sebuah keberkahan akan hilang atau dicabut oleh Allah SWT di suatu negeri, apabila masyarakatnya tidak lagi menghargai jasa-jasa orang yang sudah berjasa. Salah satunya yaitu jasa para pahlawan.
Bukankah jua disebutkan, bahwa sebuah negara yang besar, ialah negara yang menghargai para pahlawannya.
Setidaknya, jasa dan peranan Tan Malaka sangat patut dikenang dalam ingatan, dengan cara memasukkan kiprah sejarah yang pernah beliau lakukan, ke dalam kurikulum pendidikan sejarah.
Sehingga Tan Malaka akan sekalu terukir di sanubari para generasi penerus bangsa ini. Sekaligus, sebagai ikhtiar melawan lupa.
Bisa juga dengan membangun fasilitas yang layak, mulai dari TMP khusus, monumen, pustaka, sekolah, universitas, rumah sakit, hingga mematenkan nama Tan Malaka sebagai nama jalan di daerah-daerah yang pernah menjadi basis perjuangan beliau.
Sebagaimana pemberian nama bagi para pahlawan nasional, untuk jalan-jalan protokol.
Kelima, sebagai ummat muslim yang masih hidup, kita diwajibkan untuk menyemayamkan jenazah secara layak, sesuai tuntunan agama Islam.
Karena, melihat situasional tempat pemakaman yang ada saat ini, kami nilai belum layak bagi seorang pahlawan nasional (sesuai pantau kami di lokasi), sehingga dipandang perlu adanya upaya pemindahan makam beliau ke tempat lain.
Perlu juga diketahui, bahwa rencana pemindahan jasad Tan Malaka dari Kediri ke tanah kelahiran beliau di Kabupaten Limapuluh Kota, murni hanya karena kepedulian dan panggilan jiwa, sebagai putra asli daerah dari tanah kelahirannya.
Bukan karena adanya kepentingan politik atau pun misi tertentu.
Seperti yang saya sampaikan di ruang publik, bahwa pemindahan jasad Tan Malaka dari pusara (tilasan) beliau di Selopanggung, Kediri, bukan bermaksud untuk merubah histori sejarah di sana.
Bukan pula membandingkan kepahlawanan Tan dengan para pahlawan lainnya. Melainkan bertujuan agar terus merekat hubungan masyarakat dan pemerintahan antar dua daerah, di basis perjuangan.
Sebab, ibarat kata pepatah: setinggi-tingginya bangau terbang, maka ia akan kembali ke kubangan juga. Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama. Dan, nama itu ialah, Ibrahim Datuk Tan Malaka." (wow/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Bila Bersama Ibunya, Bung Karno pun...
Redaktur : Tim Redaksi