PJJ Setahun, Anak-Anak Mengalami Krisis Kesehatan Mental

Selasa, 09 Maret 2021 – 21:45 WIB
Founder Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) Muhammad Nur Rizal. Foto: tangkapan layar YouTube.

jpnn.com, JAKARTA - Pengamat dan praktisi pendidikan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Muhammad Nur Rizal mengatakan, pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang telah berlangsung selama setahun ini telah meninggalkan dampak krisis kesehatan mental yang cukup berat dirasakan oleh anak-anak.

Dampak ini akibat dari banyaknya tugas yang harus dipenuhi oleh siswa selama PJJ dengan risiko terisolasi dari teman-teman sebayanya.

BACA JUGA: Kemendikbud Apresiasi Langkah Danone Indonesia Sediakan Modul PJJ Bagi Pelajar di Daerah

Dia mengutip data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang menyebutkan sebanyak 79,9% proses pembelajaran PJJ dilakukan tanpa interaksi sehingga mengakibatkan anak stres dan lelah.

"Guru hanya memberikan dan menagih tugas tanpa ada interaksi belajar bahkan tidak ada penjelasan materi. Alpa interaksi ini menyebabkan anak kebingungan dalam mengerjakan tugas," kata Nur Rizal dalam diskusi pendidikan daring, Selasa (9/3).

BACA JUGA: KPAI Ungkap Cerita Pilu Anak-anak Selama PJJ, dari HP Dicuri sampai Menjadi Kuli Bangunan

Ditambah pula, terdapat 37,1% anak mengaku waktu pengerjaan tugas sempit sehingga kurang istirahat. Hal ini mengakibatkan 76,7% anak menyatakan tidak senang dengan PJJ.

Survei yang dilakukan Gerakan Sekolah Menyenangkan' (GSM) terhadap 1600 siswa mengatakan sebanyak 19,06% - 26,3% anak merasa bosan dan 36% - 43% anak merasa ingin berinteraksi teman sebayanya selama proses pembelajaran PJJ.

BACA JUGA: Kemenag Hanya Dapat Formasi 9.464 Guru PPPK, Direktur PAI: Itu pun Khusus Honorer K2, Lainnya Bagaimana?

"Selama PJJ ini masih berorientasi pada akademik dan tugas, hal itu mengakibatkan kebutuhan koneksi internet dan infrastruktur gawai sangat tinggi. Padahal anak miskin atau di desa memiliki permasalahan dengan hal tersebut," katanya.

Akibatnya, terjadi jurang kesenjangan yang sangat tinggi antara anak-anak di kota dan desa. Kesenjangan ini mengakibatkan learning poverty yang lebih riskan dialami masyarakat miskin maupun yang tinggal di pulau terluar.

"Learning poverty ini krusial untuk segera ditangani karena akan berdampak pada kemampuan dasar pembelajaran selanjutnya yang lama kelamaan akan mengakibatkan defisit SDM di Indonesia," ujarnya.

GSM menyarankan kepada kementerian untuk mengubah paradigma pendidikan dari penyeragaman dan kepatuhan pada konten akademik ke pendidikan yang lebih mengembangkan penalaran kritis dan empati sosial.

Perubahan paradigma ini harus dilakukan secara holistik dengan mengubah berbagai macam regulasi dengan model evaluasi yang berbasis umpan balik terkait proses belajar siswa.

"Agar kebijakan ini sejalan maka perlu koordinasi yang intensif antara pemerintah pusat dengan daerah agar kebijakan bisa dijalankan dengan benar dan baik," ucapnya.

Salah satu upaya yang dilakukan oleh GSM untuk mengatasi permasalahan PJJ adalah membuat kurikulum berbasis rumah dan komunitas yang disebut home based learning (HBL).

Dengan kurikulum ini, guru didorong memiliki kebebasan dan kemerdekaan untuk membuat kurikulum sekolah sendiri yang kontekstual dengan latarbelakang ekonomi keluarga siswa dan geografi sekolah.

Selain itu murid dan guru menjadi tidak bergantung pada fasilitas koneksi internet maupun gawai yang dipakai. Untuk memberikan feedback terhadap proses belajar siswa, guru bisa melakukan kunjungan ke rumah siswa atau mengadakan pertemuan seminggu sekali dengan jumlah siswa terbatas untuk mendiskusikan proses belajar yang baru tersebut.

"Hal ini akan mengurangi ketergantungan pada koneksi internet dan gawai dalam menyelenggarakan pembelajaran selama pandemi," pungkasnya. (esy/jpnn)


Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler