Ketua Fraksi PKB DPR Marwan Jafar mengatakan hal tersebut dalam diskusi 6yang dilaksanakan Fraksi PKB di gedung DPR, Kamis (7/3). Menurut Marwan, sepanjang 2011 lalu di seluruh Indonesia tercatat ada 106.129 kecelakaan lalulintas dengan korban jiwa meninggal 30.629 jiwa, luka berat 35.787 dan luka ringan 107. 281.
Kerugian meteril yang diderita dalam kecelakaan itu mencapai Rp 278,432 miliar. Tingginya angka kecelakaan ini menurutnya karena banyaknya persoalan pelik yang membelit angkutan darat, mulai dari pemerintah selaku regulator yang tidak mampu melakukan pengawasan optimal.
”Dan yang repotnya rendahnya penegakan hukum terhadap pelanggar lalulintas, padahal payung hukumnya jelas UU No. 22 tahun 2009 tentang lalulintas dan angkutan jalan,” kata Marwan.
Di undang-undang itu, kata dia, sudah tegas dijelaskan. Mulai dari perencanaan, pengaturan, pengendalian, sampai pengawasan. Tapi pelaksanaannya yang sewajibnya dilakukan pemerintah sebagai regulator tidak pernah optimal. ”Sebaiknya pemerintah segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah untuk menopang semakin kuatnya UU No.22 Tahun 2009,” ujarnya.
Marwan juga mengakui sangat sulit bagi pemerintah mengeluarkan kebijakan pembatasan penjualan kendaraan baik mobil atau motor untuk menghambat laju pertumbuhan kendaraan yang berimbas pada semakin padatnya volume jalan yang sangat tidak sebanding dengan ruas jalan.
”Sebenarnya pembatasan penjualan kendaraan itu baik, tapi tidak mungkin karena mereka (pemerintah) beralasan akan memperburuk iklim investasi,”pungkasnya.
Angg ota Komisi V DPR, M. Toha, juga memberikan pandangannnya. Bahwa salah satu penyebab utama kecelakaan yang melibatkan angkutan umum lantaran pengawasan dan penerapan pengujian laik jalan atau KIR sangat lemah. ”Sekarang ini publik berpendapat kalau uji KIR sekarang ini sudah jadi sumber pendapatan, bukan lagi sumber keselamatan. Ini berbahaya kalau terus dibiarkan,” lontarnya.
Selain itu, ketidakberdayaan pengusaha angkutan umum dalam mengembangkan usahanya akibat tingginya harga suku cadang kendaraan. ”Tapi pengusaha angkutan umum juga harus meninjau ulang sistem kerja dan kesejahteraan para supir angkutannya sebagai ujung tombak perusahaan di lapangan. Artinya, jika supir mampu membuat penumpangnya nyaman, selamat dan senang, maka citra perusahaan pasti ikut baik,” tandasnya.
Menanggapi pernyataan kedua politikus itu, Ketua Umum Organda yang juga pemilik perusahaan bus Lorena, Eka Sari Lorena Soerbakti, mengatakan setiap orang boleh saja merindukan angkutan umum yang aman dan nyaman. Namun impian itu tidak akan menjadi kenyataan tanpa revitalisasi angkutan umum.
”Orang-orang juga boleh saja mencerca Metromini dan Kopaja yang disebut seperti odong-odong tapi masih tetap berkeliaran di Jakarta,” ujar Eka.
Padahal, lanjut Eka, pemilik Metromini saat ini masih tetap mengoperasikan armadanya karena tidak mendapat perhatian serius dari pemerintah untuk melakukan revitalisasi. ”Biaya revitalisasi (peremajaan) satu unit Metromini tidak kurang dari Rp 450 juta, sementara tarif masih Rp 2 ribu per penumpang. Kalau guyonannya orang Madura, bayar murah kok maunya selamat,” terang Eka seraya berseloroh.
Terkait lemahnya pengawasan KIR, menurut Eka sebaiknya pemerintah meniru negara maju dimana pemerintah menyediakan KIR di setiap perusahaan angkutan sebagai insentif. ”Jadi bukannya seperti saat ini, malah masuk ke dalam pendapatan asli daerah, sebaiknya masuk ke pembinaan,” pungkas wanita yang rambutnya dipirangkan ini. (ind)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Syarat Remisi dan Bebas Bersyarat Tetap Diperketat
Redaktur : Tim Redaksi