PKB sebut Beras Plastik Teror Pangan, maksudnya?

Senin, 25 Mei 2015 – 06:00 WIB
Nasi dari beras plastik. Foto: Radar Bekasi/dok.JPNN

jpnn.com - JAKARTA –  Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) justru menduga ada muatan politis di balik beredarnya beras dengan bahan sintetis alias beras plastik.

Wakil Sekretaris Jenderal PKB Daniel Johan mengatakan, ada kejanggalan dalam peredaran beras tersebut.

BACA JUGA: Habibie Pun Kecewa dengan Jokowi

Dari hasil laboratorium PT Sucofindo disebutkan bahwa dari 250 gram beras plastik hanya terdapat kandungan 7 persen protein. Selebihnya, mengandung zat kimia polyvinyl chloride yang biasa digunakan dalam pembuatan pipa PVC dan kabel listrik.

Nah, jika bahan kimia tersebut dibentuk menjadi bulir beras, butuh biaya yang besar. Sehingga dari perspektif bisnis sangat tidak menguntungkan. "Produksi mahal, dari segi ekonomi tidak mungkin,"‎ ujarnya di DPP PKB, Jakarta, Minggu (24/5).

BACA JUGA: Masa yang Tanda Tangan Ketum dan Sekjen Munas Abal-abal?

‎Nah, dia menduga bahwa isu beras tersebut dipolitisasi. Sebab, saat ini pemerintah sedang mencanangkan swasembada beras. ‎"Adanya sabotase, teror pangan," cetus Daniel.

Selain itu, Daniel menilai pemerintah lalai dalam hal pengawasan. Menurutnya, kementerian yang menangani ekspor impor seharusnya bisa mengawasi peredaran barang tersebut. "Kami minta pemerintah sampaikan ke publik siapa yang bertanggung jawab," katanya.

BACA JUGA: Tantowi: Pokoknya Golkar Ikut Pilkada

Anggota komisi VI dari Fraksi PKB Eem ‎Marhamah mengatakan, perlu dibuat ‎‎regulasi atau informasi tata niaga tentang bahan pokok oleh Kementerian Perdagangan. Tujuannya untuk mengindentifikasi pelaku pasar agar lebih terkontrol. "Begitu ada kejadian begini kan bisa di cek siapa yang mengedarkan," ucapnya.

‎Dia menambahkan, ‎perlu kebijakan yang terintegrasi antara Kementerian Perdagangan, Badan Standarisasi Nasional (BSN), dan MUI. Barang yang diimpor dari negara lain harus melalui proses tersebut.

Jadi, peredaran produk ilegal dan berbahaya seperti beras plastik bisa di-filter atau disaring. "Harus ada kebijakan seperti itu, harus diintegrasikan," tandas Eem. (Desyinta Nur'aini/fal)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Genjot Edukasi agar Tak Seumur Hidup Jadi TKI


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler