jpnn.com - JAKARTA -- Anggota Komisi Hukum DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Aboebakar Alhabsy mengkritisi Peraturan Pemerintah Pangganti Undang-undang Nomor 1 tahun 2013 tentang Mahkamah Konstitusi.
Menurutnya, ada tiga hal yang harus diperhatikan dari sisi konten dan bentuk Perppu itu. Pertama, persyaratan Hakim MK yang tidak boleh menjadi anggota partai politik selama tujuh tahun sebelumnya. Kedua, mengenai mekanisme seleksi yang menggunakan Panel Ahli.
BACA JUGA: Garap Perkara-perkara Mandek di Daerah
Ketiga, dibentuknya Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi yang dibentuk permanen untuk melakukan pengawasan terhadap Hakim MK.
"Mengenai persyaratan hakim MK yang tidak boleh menjadi anggota parpol tujuh tahun sebelum diusulkan, saya kira cukup baik. Hal ini untuk meningkatkan independensi hakim, agar meyakinkan publik bahwa mereka tidak terkontaminasi oleh kepentingan politik," katanya, Sabtu (19/10).
BACA JUGA: Densus Antikorupsi Harus Dilengkapi Peralatan Canggih
Namun bila mau konsisten, kata Aboebakar, seharusnya calon juga dipersyaratkan tidak boleh menjadi aparatur negara atau Pegawai Negeri Sipil selama tujuh tahun sebelumnya.
"Karena MK tidak hanya menyidangkan persoalan politik, namun juga materi yang berhubungan dengan pemerintahan.
BACA JUGA: Tak Keberatan Polri Bentuk Densus Antikorupsi
Terkait pembentukan panel Ahli, ia menilai memang bagus untuk menjaga kualitas Hakim MK agar ada standarisasi kemampuan melalui uji keahlian di bidang hukum dan konstitusi.
"Sedangkan pembentukan MKHK (Majelis Kehormatan Hakik Kosntitusi) menurut saya tidak tepat, karena pengaturan yang serupa sudah pernah disidangkan oleh MK, yang kemudian pasal tersebut dibatalkan," kata dia.
Menurutnya, adanya pasal yang mengatur komposisi Majelis Kehormatan Hakim MK dengan memasukkan unsur DPR, pemerintah, Mahkamah Agung, Komisi Yudisial secara permanen justru akan mengancam dan mengganggu kemandirian Hakim MK.
"Adanya keempat unsur itu berpotensi menimbulkan konflik kepentingan karena mereka dapat menjadi pihak yang berperkara di MK," ujarnya.
Soal perubahan UU MK melalui Perppu, menurutnya juga tidak pas, karena sebenarnya tiga konten yang berkaitan dengan persyaratan Hakim MK, penjaringaan dan seleksi, serta pengawasan Hakim MK lebih cocok diatur dalam revisi UU MK.
"Saya belum melihat ada urgensi yang mendesak, karena MK masih bisa berjalan normal dengan delapan hakim konstitusi yang ada," katanya.
Menurutnya pula, belum ada hal ihwal yang memaksa yang menyebabkan kelumpuhan MK, yang pada kondisi tersebut menuntut Presiden mengeluarkan Perppu.
Diakuinya, memang "hal ikhwal yang memaksa" dalam syarat penerbitan perpu adalah hak subjektif presiden, yang nantinya akan diuji secara objektif oleh DPR sebagaimana ketentuan pasal 22 ayat 2 Undang-undang Dasar 1945.
Namun, kata dia, mengenai persyaratan, seleksi serta penjaringan masih bisa dilakukan dengan UU MK yang ada.
"Bilapun ingin dilakukan revisi dapat ditempuh jalur reguler sebagaimana diatur dalam UU nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan," pungkasnya. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Lestarikan Tradisi Tionghoa dengan Kondangan Peranakan
Redaktur : Tim Redaksi