JAKARTA - Meskipun disinyalir menerima aliran dana korupsi, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) belum bisa dibekukan. Pasalnya saat ini kasus suap kuota impor daging sapi di Kementerian Pertanian yang melibatkan mantan Presiden PKS, Lutfhi Hasan Ishaaq itu masih dalam proses pengadilan.
"Kemenkumham tidak akan ujug-ujug mengambil peran, kan itu persidangan. Berikan kesempatan kepada pengadilan untuk bersidang dengan baik dan lancar," kata Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Amir Syamsuddin di DPR, Jakarta, Senin (24/6).
Menurut Amir, sebelum segala sesuatunya terungkap dengan baik di dalam persidangan, ia enggan untuk memberikan komentar terkait pembubaran PKS. Sebab ia tidak mau mendahului proses peradilan.
"Sebelum segala sesuatunya terungkap dengan baik di persidangan dan persidangan ini berjalan sebaiknya saya hindari membuat komentar yang sifatnya mendahului," ucapnya.
Sementara itu Ketua DPP PKS, Jazuli Juwaini menilai soal pembubaran terhadap PKS apabila menerima dana haram masih terlalu dini. Sebab persidangan masih berlangsung.
"Iya kan kita masih terlalu dini. Kalau kita bicara ujug-ujug pembubaran segala macam. Kita harus lihat aja apa faktanya dulu. Kan bukti hukum juga penting untuk dihormati dan dihargai," kata Jazuli.
Koordinator Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia, Said Salahuddin mengatakan peraturan perundang-undangan, partai politik bisa dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Kewenangan MK itu sebagaimana diatur pada Pasal 24C ayat (1) UUD 1945.
Salah satu alasan partai politik dapat dibubarkan oleh MK adalah apabila kegiatan partai politik bertentangan dengan UUD 1945 atau akibat yang ditimbulkannya bertentangan dengan UUD 1945. Aturan itu merujuk Pasal 68 ayat (2) UU Nomor 24 tahun 2003 tentang MK jo. Pasal 2 huruf b Peraturan MK Nomor 12 tahun 2008 Tentang Pedoman Beracara Dalam Pembubaran Partai Politik.
Pada UU Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai politik sebagaimana diubah terakhir dengan UU Nomor 2 tahun 2011 pun, menurut Said, diatur larangan itu.
Said menerangkan, melihat tren korupsi oleh anggota dan pengurus parpol semakin meningkat, maka tampaknya mendesak untuk dibuat aturan yang lebih tegas tentang mekanisme pengenaan sanksi kepada partai politik yang anggota dan pengurusnya terlibat kegiatan korupsi.
Selain untuk memaksa agar partai politik mau berubah dan menjauh dari budaya koruptif, lanjut Said, pengenaan sanksi juga bertujuan untuk mengefektifkan konsep penyederhanaan partai politik dalam rangka penguatan sistem Presidensiil.
Sehingga penyederhanaan partai politik ke depan bukan lagi menekankan pada soal kemampuan parpol membentuk kepengurusan di banyak daerah dan memenuhi ambang batas parlemen (parliamentary threshold), tetapi akan lebih ditentukan oleh seberapa bersih parpol dari praktik korupsi. "Jika kader melakukan korupsi, maka partai politiknya harus dibubarkan. Kira-kira begitu rumusannnya," kata Said.
Menurut Said ada 3 (tiga) tingkatan sanksi yang bisa diberikan kepada partai politik yakni dengan kategori ringan, sedang, dan berat. Semakin tinggi jabatan dan posisi yang diemban oleh anggota parpol yang melakukan korupsi, maka sanksi yang diberikan harus semakin berat.
Apabila korupsi dilakukan oleh anggota partai yang menjabat sebagai kepala daerah, anggota DPRD, direksi dan komisaris BUMD, serta oleh pengurus yang menjabat sebagai Ketua, Sekretaris, dan Bendahara parpol tingkat provinsi dan kabupaten/ kota, misalnya, maka dikenakan sanksi pembekuan kepengurusan partai selama lima tahun di daerah bersangkutan.
Kemudian menurut Said, apabila korupsi dilakukan oleh anggota partai yang menjabat sebagai anggota DPR, anggota DPD, menteri, direksi dan komisaris BUMN, serta oleh pengurus partai tingkat pusat, maka wajar jika dikenakan sanksi larangan kepada partai bersangkutan untuk menjadi peserta Pemilu berikutnya.
Apabila kata Said, korupsi dilakukan oleh anggota partai yang menjabat sebagai presiden, wakil presiden, pimpinan MPR, pimpinan DPR, pimpinan DPD, ketua, Sekretaris, dan bendahara partai tingkat pusat, maka sanksi yang sepantasnya dikenakan sanksinya adalah pembubaran partai bersangkutan secara nasional. (gil/jpnn)
"Kemenkumham tidak akan ujug-ujug mengambil peran, kan itu persidangan. Berikan kesempatan kepada pengadilan untuk bersidang dengan baik dan lancar," kata Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Amir Syamsuddin di DPR, Jakarta, Senin (24/6).
Menurut Amir, sebelum segala sesuatunya terungkap dengan baik di dalam persidangan, ia enggan untuk memberikan komentar terkait pembubaran PKS. Sebab ia tidak mau mendahului proses peradilan.
"Sebelum segala sesuatunya terungkap dengan baik di persidangan dan persidangan ini berjalan sebaiknya saya hindari membuat komentar yang sifatnya mendahului," ucapnya.
Sementara itu Ketua DPP PKS, Jazuli Juwaini menilai soal pembubaran terhadap PKS apabila menerima dana haram masih terlalu dini. Sebab persidangan masih berlangsung.
"Iya kan kita masih terlalu dini. Kalau kita bicara ujug-ujug pembubaran segala macam. Kita harus lihat aja apa faktanya dulu. Kan bukti hukum juga penting untuk dihormati dan dihargai," kata Jazuli.
Koordinator Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia, Said Salahuddin mengatakan peraturan perundang-undangan, partai politik bisa dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Kewenangan MK itu sebagaimana diatur pada Pasal 24C ayat (1) UUD 1945.
Salah satu alasan partai politik dapat dibubarkan oleh MK adalah apabila kegiatan partai politik bertentangan dengan UUD 1945 atau akibat yang ditimbulkannya bertentangan dengan UUD 1945. Aturan itu merujuk Pasal 68 ayat (2) UU Nomor 24 tahun 2003 tentang MK jo. Pasal 2 huruf b Peraturan MK Nomor 12 tahun 2008 Tentang Pedoman Beracara Dalam Pembubaran Partai Politik.
Pada UU Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai politik sebagaimana diubah terakhir dengan UU Nomor 2 tahun 2011 pun, menurut Said, diatur larangan itu.
Said menerangkan, melihat tren korupsi oleh anggota dan pengurus parpol semakin meningkat, maka tampaknya mendesak untuk dibuat aturan yang lebih tegas tentang mekanisme pengenaan sanksi kepada partai politik yang anggota dan pengurusnya terlibat kegiatan korupsi.
Selain untuk memaksa agar partai politik mau berubah dan menjauh dari budaya koruptif, lanjut Said, pengenaan sanksi juga bertujuan untuk mengefektifkan konsep penyederhanaan partai politik dalam rangka penguatan sistem Presidensiil.
Sehingga penyederhanaan partai politik ke depan bukan lagi menekankan pada soal kemampuan parpol membentuk kepengurusan di banyak daerah dan memenuhi ambang batas parlemen (parliamentary threshold), tetapi akan lebih ditentukan oleh seberapa bersih parpol dari praktik korupsi. "Jika kader melakukan korupsi, maka partai politiknya harus dibubarkan. Kira-kira begitu rumusannnya," kata Said.
Menurut Said ada 3 (tiga) tingkatan sanksi yang bisa diberikan kepada partai politik yakni dengan kategori ringan, sedang, dan berat. Semakin tinggi jabatan dan posisi yang diemban oleh anggota parpol yang melakukan korupsi, maka sanksi yang diberikan harus semakin berat.
Apabila korupsi dilakukan oleh anggota partai yang menjabat sebagai kepala daerah, anggota DPRD, direksi dan komisaris BUMD, serta oleh pengurus yang menjabat sebagai Ketua, Sekretaris, dan Bendahara parpol tingkat provinsi dan kabupaten/ kota, misalnya, maka dikenakan sanksi pembekuan kepengurusan partai selama lima tahun di daerah bersangkutan.
Kemudian menurut Said, apabila korupsi dilakukan oleh anggota partai yang menjabat sebagai anggota DPR, anggota DPD, menteri, direksi dan komisaris BUMN, serta oleh pengurus partai tingkat pusat, maka wajar jika dikenakan sanksi larangan kepada partai bersangkutan untuk menjadi peserta Pemilu berikutnya.
Apabila kata Said, korupsi dilakukan oleh anggota partai yang menjabat sebagai presiden, wakil presiden, pimpinan MPR, pimpinan DPR, pimpinan DPD, ketua, Sekretaris, dan bendahara partai tingkat pusat, maka sanksi yang sepantasnya dikenakan sanksinya adalah pembubaran partai bersangkutan secara nasional. (gil/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dianggap Sopan, Hercules Dituntut Enam Bulan Penjara
Redaktur : Tim Redaksi