JAKARTA - Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Indra menyayangkan dimasukannya pasal tentang delik pidana penghinaan presiden dalam draf perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sebab pasal penghinaan presiden di KUHP sudah pernah dilakukan Judical Review yang akhirnya Mahkamah Konstitusi (MK) mencabut pasal-pasal terkait penghinaan Presiden tersebut.
"Tentunya pemerintah harus patuh dengan keputusan MK yang sudah membatalkan pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden," ujar Indra dalam pesan singkat, Minggu (7/4).
Menurutnya, sebagai pelaksana putusan pengadilan, pemerintah tak boleh abai dan arogan memaksakan pasal tersebut dihidupkan atau dimasukan kembali ke dalam Rancangan Undang-Undang (RUU)KUHP.
Apabila pasal tersebut dipaksakan masuk, kata Indra, patut diduga hal itu sebagai upaya untuk membungkam sikap-sikap kritis masyarakat kepada pemerintah (presiden) dan upaya mengekang kebebasan berpendapat masyarakat di muka umum.
"Ini jelas sebagai bentuk kemunduran berdemokrasi yang belakangan sudah berkembang di Indonesia pasca runtuhnya Orde Baru. Pasal penghinaan presiden berpotensi mengembalikan pemeritahan yang represif dan otoriter," ucap Indra.
Anggota Komisi III DPR tersebut mengatakan, penggunaan kata "menghina", jelas-jelas rancu, lentur dan pasal karet. Tafsirnya pun sambung dia, bisa luas dan disalahgunakan, serta dapat berdampak negatif pada demokratisasi Indonesia.
Indra menjelaskan, harga diri presiden dibangun berdasarkan kebijakan yg pro rakyat, program-program yang bisa mensejahteraan rakyat, penegakkan hukum, pemberantasan korupsi, pemberantasan narkoba, pemberantasan premanisme dan lain sebagainya.
Menjaga marwah kepala negara lanjut dia, cukup dengan menampilkan sosok presiden yang beritegritas, cerdas, dan konsisten dengan program pro-rakyat. Bukan dengan upaya mengekang kebebasan berpendapat warganya di muka umum melalui pasal-pasal karet.
"Oleh karena itu pasal penghinaan Presiden dalam draf perubahan RUU KUHP sebaiknya dihapus atau setidak-tidaknya dikonstruksi ulang redaksinya," tandasnya. (gil/jpnn)
"Tentunya pemerintah harus patuh dengan keputusan MK yang sudah membatalkan pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden," ujar Indra dalam pesan singkat, Minggu (7/4).
Menurutnya, sebagai pelaksana putusan pengadilan, pemerintah tak boleh abai dan arogan memaksakan pasal tersebut dihidupkan atau dimasukan kembali ke dalam Rancangan Undang-Undang (RUU)KUHP.
Apabila pasal tersebut dipaksakan masuk, kata Indra, patut diduga hal itu sebagai upaya untuk membungkam sikap-sikap kritis masyarakat kepada pemerintah (presiden) dan upaya mengekang kebebasan berpendapat masyarakat di muka umum.
"Ini jelas sebagai bentuk kemunduran berdemokrasi yang belakangan sudah berkembang di Indonesia pasca runtuhnya Orde Baru. Pasal penghinaan presiden berpotensi mengembalikan pemeritahan yang represif dan otoriter," ucap Indra.
Anggota Komisi III DPR tersebut mengatakan, penggunaan kata "menghina", jelas-jelas rancu, lentur dan pasal karet. Tafsirnya pun sambung dia, bisa luas dan disalahgunakan, serta dapat berdampak negatif pada demokratisasi Indonesia.
Indra menjelaskan, harga diri presiden dibangun berdasarkan kebijakan yg pro rakyat, program-program yang bisa mensejahteraan rakyat, penegakkan hukum, pemberantasan korupsi, pemberantasan narkoba, pemberantasan premanisme dan lain sebagainya.
Menjaga marwah kepala negara lanjut dia, cukup dengan menampilkan sosok presiden yang beritegritas, cerdas, dan konsisten dengan program pro-rakyat. Bukan dengan upaya mengekang kebebasan berpendapat warganya di muka umum melalui pasal-pasal karet.
"Oleh karena itu pasal penghinaan Presiden dalam draf perubahan RUU KUHP sebaiknya dihapus atau setidak-tidaknya dikonstruksi ulang redaksinya," tandasnya. (gil/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Bacaleg Keluhkan Biaya Tes Kesehatan
Redaktur : Tim Redaksi