Sekitar empat miliar tahun silam, Bumi dan Mars masih terbilang muda, panas dan basah. Bila bukan planet kembar dalam Tata Surya, maka pasti keduanya merupakan 'adik-kakak'. Hampir seluruh kandungan air di Mars telah menghilang sejak planet ini terbentuk Pakar planet dan perbintangan menduga air tersebut berubah menjadi oksigen dan hidrogen di atmosfir dan unsur hidrogen menghilang ke ruang angkasa Sebuah pemodelan menunjukkan bila Mars pernah memiliki kandungan air, sisanya saat ini terjebak dalam mineral di perut planet tersebut
Saat ini, Mars yang dijuluki sebagai Planet Merah lebih tampak seperti planet mati. Permukaannya kering dan dingin, jauh di bawah titik beku, tanpa kandungan air.
BACA JUGA: Maaf Facebook, Warga Australia Sudah Bosan
Sejumlah pakar geologi menduga bahwa air laut yang pernah menutupi Mars sebenarnya masih tersisa, tetapi kini terjebak di bawah permukaan tanah.
Penelitian yang dilakukan Dr Eva Scheller dan rekannya dari Institut Teknologi California menyimpulkan, sebagian besar air di Mars kini tersimpan sebagai molekul di kerak planet tersebut.
BACA JUGA: Pengakuan Perempuan Korban Perbudakan Seksual di Australia
Bila demikian halnya, apakah air yang tersimpan di kerak planet Mars suatu saat nanti dapat digunakan untuk membantu manusia hidup di sana?
Menurut Dr Eva, hal itu tergantung pada struktur kristal bebatuan. Struktur tanah liat misalnya, akan kehilangan kandungan airnya pada suhu sekitar 400 derajat Celcius. Baru setelah itu kita dapat mengumpulkan gas cair itu dan membekukannya.
BACA JUGA: Curhat Pejabat Australia soal Kesulitan Melawan Pandemi
"Tapi jumlah kandungan airnya cukup kecil, jadi kita harus memanaskan begitu banyak bebatuan untuk mendapatkan lebih banyak air," jelasnya Dunia air Cekungan Eridania di belahan selatan Planet Mars dipercaya pernah memiliki lautan seluas 800 km dengan kedalaman 1 km pada 3,7 miliar tahun silam.
Supplied: NASA
Diperkirakan air yang memenuhi lautan Mars dan Bumi berasal dari dalam perut planet yang dikirim melalui komet dan sisa-sisa benda langit lainnya yang terjadi akibat pembentukan Tata Surya. Letusan gunung berapi kemudian memuntahkan uap air ke atmosfer planet.
Saat ini, pakar planet dan perbintangan telah memiliki gambaran seberapa banyak air yang pernah ada di Mars setelah memeriksa fitur-fitur seperti bentuk garis pantai kuno dan kedalaman cekungan.
Perhitungan yang dilakukan pada seluruh kandungan air dan es ketika Mars masih memiliki air - termasuk uap air di atmosfernya - lalu disebarkan secara merata ke seluruh permukaan planet, maka lautan di planet ini diperkirakan memiliki kedalaman antara 100 hingga 1.500 meter.
Jika perhitungan serupa dilakukan untuk saat ini, dimana sebagian besar air berbentuk es di kutub planet itu, maka kedalaman lautan hanya 20 hingga 40 meter.
Jadi kemana perginya sebagian besar air di planet tu?
Ada dua bagian penjelasan. Pertama, uap air di atmosfer bagian atas terpecah menjadi hidrogen dan oksigen, dan hidrogen yang lebih ringan terbawa ke luar angkasa.
Proses seperti itu terus berlangsung saat ini. Pesawat luar angkasa MAVEN dan Mars Express mengukur laju pelarian hidrogen, yang tampaknya berubah seiring musim dan badai debu.
"Dengan melihat kejadian ini, kita tentunya menyimpulkan pelarian unsur atmosfer ke luar angkasa merupakan penyebab menghilangnya air di sana," jelas Dr Eva.
Tapi hilangnya kandungan air yang berubah bentuk menjadi unsur oksigen dan hidrogen ke luar angkasa maksimal akan mencakup 240 meter dari kedalaman lautan purban di Planet Mars.
Dr Eva dan rekan-rekannya memperkirakan adanya penjelasan kedua sebagai penyebab menghilangnya air dari permukaan Mars.
Yaitu, molekul-molekul air telah terperangkap di kerak planet. "Kami memperkirakan kedua proses inilah yang terjadi," ujarnya. Terjebak pada bebatuan purba?
Proses terperangkapnya molekul air pada kerak Mars tidaklah seperti proses air yang terserap pada spons.
Sebaliknya, melalui serangkaian reaksi kimia yang kompleks, molekul air terperangkap secara permanen dalam struktur kristal mineral saat bebatuan terkena air.
Proses ini, yang disebut pelapukan, sebenarnya juga terjadi di kerak bumi. Bedanya, di Bumi molekul air tidak terjebak selamanya.
Hal itu disebabkan oleh permukaan Bumi yang dinamis. Tektonik mendorong lempengan besar kerak ke dalam lapisan di bawahnya, menyebabkannya meleleh dan melepaskan molekul air dari lapisan kristalnya. Ventilasi vulkanik kemudian dapat melepaskan molekul tersebut sebagai uap air.
Di Mars, aktivitas vulkanik telah mencapai puncaknya pada 3 hingga 4 miliar tahun silam. Tanpa kemampuan mendaur ulang bagian kerak planet, sebagian besar permukaan Mars telah berusia miliaran tahun.
Menurut penelitian ini, bebatuan purba di Planet Mars itulah yang menyerap sebagian besar air yang pernah ada di sana.
Simulasi dari penelitian menunjukkan bahwa kerak Mars menyimpan air setara dengan air lautan yang pernah menutupi Mars dengan kedalaman antara 100 dan 1.000 meter.
Volume air sebanyak itu, untuk ukuran Bumi, sama dengan tiga perempat volume air Samudra Atlantik.
Meski Dr Eva mengakui volume ini sangat besar, namun tim peneliti menyatakan hal ini lebih cocok dengan perkiraan dari geologi yang mereka teliti.
Selain itu, perkiraan ini juga cocok dengan apa yang dikenal sebagai rasio deuterium-ke-hidrogen planet.
Deuterium adalah versi hidrogen yang lebih berat, memiliki neutron ekstra di dalam nukleusnya, sehingga kecil kemungkinannya untuk lepas ke luar angkasa.
Seiring waktu, dengan berkurangnya hidrogen yang lebih ringan di atmosfer, jumlah deuterium terhadap hidrogen pun meningkat.
Misi penjelajah NASA Curiosity telah menemukan rasio deuterium-ke-hidrogen Mars jauh lebih tinggi daripada yang ada di Bumi.
"Kami menunjukkan dalam penelitian ini bahwa kombinasi hilangnya air karena penyerapan ke kerak planet dan hilangnya air ke luar angkasa memperkuat hal itu," jelas Dr Eva Scheller. Citra rekaan yang menunjukkan Planet Mars saat mengalami zaman es di masa silam.
Supplied: NASA
Menanggapi hasil penelitian ini, Dr Graziella Caprarelli dari University of Southern Queensland menyatakan pemodelan yang dilakukan sangat mengesankan.
Namun penelitian ini, katanya, didasarkan atas premis bahwa Mars pernah memiliki kandungan air lebih banyak daripada saat ini. Dan jika air itu tak ditemukan sekarang, maka dipastikan telah terjebak di kerak planet.
"Memang banyak bukti bahwa Mars pada awalnya lebih basah. Saya tidak membantahnya. Tapi seberapa basah planet itu di masa silam?" ujarnya.
"Pendekatan saya mungkin mengambil kisaran volume air yang lebih rendah," kata Dr Graziella, yang turut mengidentifikasi danau bawah permukaan di kutub selatan Planet Mars.
Tidak semua mineral di perut planet yang memerangkap air memeiliki kemampuan yang sama. Beberapa mineral bisa menyerap 13 persen air, sementara yang lain hingga 30 persen.
Adapun kemampuan mineral-mineral di bawah permukaan Mars dalam menyerap air, umumnya masih misterius. Data baru, kesimpulan baru
Dalam misi pencarian jejak kehidupan di Mars, tidak cukup hanya dengan mengetahui bagaimana air di sana menghilang. Kita juga perlu tahu kapan hal itu terjadi.
"Semua mineral yang menyerap air di planet ini terbentuk sebelum masa 3 miliar tahun silam," jelas Dr Eva Scheller.
Jadi, katanya, bila kita ingin mencari jejak kehidupan di Mars, paling tepat menargetkan bebatuan dari era tersebut.
Hal itulah yang saat ini dilakukan misi penjelajah Perseverance, yang sedang mengitari kawasan sekitar Kawah Jezero. Targetnya adalah menemukan bebatuan berusia 3,6 miliar tahun. Sebuah delta kuno menjulur ke Kawah Jezero, yang merupakan dasar danau. Misi NASA Perseverance mendarat di kawah tersebut pada bulan Februari 2021.
Supplied: NASA/JPL-Caltech/ASU
Pada era yang sama sebelum 3 miliar tahun silam, kehidupan sudah ada di Bumi. Stromatolit yang telah membatu di Australia Barat dipastiakn berasal dari era 3,5 miliar tahun silam.
Jika Mars juga pernah memiliki kehidupan, pakar astrobiologi menduga bentuknya akan tampak seperti stromatolit.
"Misi yang dilakukan Perseverance berbeda dengan semua misi penjelajah sebelumnya, yaitu mempelajari bagian paling purba kerak Mars, tempat semua proses kehilangan air terjadi," jelasnya.
Ia yakin bahwa data baru dari misi tersebut dan misi-misi selanjutnya akan membantu memberikan gambaran yang lebih jelas tentang sejarah Planet Mars.
Diproduksi oleh Farid M. Ibrahim dari artikel ABC News.
BACA ARTIKEL LAINNYA... AstraZeneca Klaim Vaksinnya Aman, Irlandia Pilih Hentikan Sementara Vaksinasi