jpnn.com, JAKARTA - Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Sarwi Chaniago mengatakan imajinasi dan narasi para politisi termasuk calon presiden dan wakil presiden sekarang ini agak mundur.
Pangi lantas mempertanyakan apakah ini karena jangka waktu kampanye masih panjang sehingga mereka masih menyimpan strategi.
BACA JUGA: Etika Harus Diutamakan Dalam Prosesi Politik Pilpres 2019
“Atau memang itu hobi pada politik saling sindir, perang kata-kata, dan diksi yang tidak bermutu sama sekali,” kata Pangi dalam diskusi Etika Politik Pilpres di gedung parlemen, Jakarta, Jumat (16/11).
Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta mengatakan, tinggal menunggu saja nanti saat debat capres, apakah pasangan calon memiliki imajinasi yang besar. Menurut dia, imajinasi itu sangat penting dan lebih besar daripada ide maupun gagasan.
“Orang pergi ke NASA karena imajinasi, Korea Selatan tahun 1960-an di bawah Indonesia, sekarang Korea Selatan dia punya apa pun. Lifestyle-nya, musiknya menguasai, dan menjadi ikon anak muda. Itu karena imajinasi orang Korea Selatan itu cinta pada negaranya,” katanya.
Nah, Pangi melihat, belum melihat para pasangan capres dan cawapres mengeluarkan imajinasinya. Dia mengatakan, misalnya apakah sudah memiliki imajinasi akan menjadi apa Indonesia pada 2045 atau tepat seabad kemerdekaan.
BACA JUGA: Gawat Jika Ucapan Kiai Maruf Digoreng Terus sampai Gosong
“Apakah kita akan kuat di pertahanannya, di pertaniannya, apakah kita akan berhenti menggerogoti sumber daya alam yang memberi barang-barang bahan mentah keluar, atau akan kuat di jasa, itu juga belum jelas,” katanya.
Akhirnya, kata Pangi, sekarang malah disibukkan dengan politik saling sindir. Sehingga keluarlah hal-hal yang minim dan jauh dari substansi serta sangat dangkal.
Menurut Pangi, pemimpin harus bisa memberikan harapan. Dia melihat capres belum bisa memberikan harapan yang besar.
BACA JUGA: SBY Tidak Salah, Bangsa Ini Butuh Presiden Seperti Prabowo
“Harapan itu sangat penting bagi masyarakat ke depan. Kalau tidak ada harapan, mereka juga tidak percaya, akhirnya mereka menjadi golput karena tidak punya harapan, mengingat persoalan mereka belum terselesaikan,” ungkapnya.
Harusnya, kata dia, penyusunan kata-kata dalam politik itu memiliki semangat persatuan dan kesatuan. Namun, ujar Pangi, yang terjadi sekarang ini adalah semangat politik ikan lele, semakin keruh kian senang. “Ini yang rumit sekali bagaimana menyelasaikan bangsa yang cukup banyak persoalan bangsa kita,” tegasnya.
Dia menegaskan, kalau diksi yang dikeluarkan oleh masyarakat biasa itu tidak masalah. Namun, kalau selevel calon presiden atau capres, maka akan menjadi polemik dan bumerang sehingga memunculkan sentimen positif atau negatif. Kalau sentimen positif, maka itu baik untuk calonnya. Tapi, kalau diksi yang dikeluarkan mengandung polemik blunder politik, justru mendongkrak atau menggembosi elektablitas dari sang kandidat.
“Manajemen isu yang dimunculkan tidak positif terhadap kandidat, kenapa itu harus diulangi,” ungkapnya. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Yusril Merapat ke Jokowi, PBB Diprediksi Kecipratan Untung
Redaktur & Reporter : Boy