PLN Kian Bergantung Lender Asing

Rabu, 24 September 2014 – 04:38 WIB

JAKARTA - Pesatnya pertumbuhan ekonomi mendorong kebutuhan energi listrik kian tinggi. Namun, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), tampaknya, kesulitan memenuhi kebutuhan investasi sektor kelistrikan karena modal minim.

Dirut PT PLN Nur Pamudji menyatakan, PLN selama ini mengandalkan utang dari para kreditor atau lender untuk membiayai investasi pembangunan infrastruktur kelistrikan akibat minimnya alokasi dana dari pemerintah. ''Jadi, ke depan PLN makin tergantung pada lender asing,'' katanya saat rapat di Badan Anggaran (Banggar) DPR.

Dia mencontohkan, sepanjang 2013, PLN menggelontorkan investasi pembangunan infrastruktur kelistrikan yang sebesar Rp 56,5 triliun. Dari jumlah tersebut, dana dari APBN hanya Rp 5,8 triliun, lalu dana penerusan pinjaman atau subsidiary loan agreement (SLA) sekitar Rp 500 miliar, sedangkan Rp 50,1 triliun berasal dari proyek PLN. ''Dari jumlah Rp 50 triliun itu, sebagian dari kas PLN, tapi sebagian besar dari pinjaman atau utang,'' ujarnya.

Sebagaimana diketahui, model bisnis PLN memang lebih banyak mengandalkan pemasukan dari dana subsidi listrik yang dibayar pemerintah serta margin yang diberikan kepada PLN. Dengan demikian, PLN tidak memiliki sumber penerimaan yang bisa diandalkan selain dari kucuran dana pemerintah. Hal tersebut berbeda dengan Pertamina yang memiliki sumber penerimaan dari produksi migas selain penerimaan dari subsidi BBM yang dibayar pemerintah.

Menurut Nur, ketergantungan PLN terhadap utang masih akan terus berlangsung dalam waktu-waktu ke depan. Misalnya, dia menyebutkan bahwa pada 2015 PLN berencana menggelontorkan belanja modal atau capital expenditure sebesar Rp 60 triliun. Dana tersebut rencananya diperoleh dari utang sebesar Rp 30 triliun, lalu dana insentif investasi dari APBN 2015 sebesar Rp 19,97 triliun, dan Rp 10 triliun lainnya dari SLA dan anggaran APBN melalui Kementerian ESDM. ''Jadi, utang masih akan jadi andalan,'' ucapnya.

Laporan keuangan PLN menunjukkan, utang jangka panjang hingga akhir 2013 tercatat sebesar Rp 220 triliun (unaudited), sedangkan total utang perseroan hingga akhir 2013 sudah menembus angka Rp 462 triliun.

Nur mengakui, salah satu permasalahan lain yang dihadapi PLN adalah tingginya utang dalam denominasi dolar AS (USD) karena kebanyakan investasi PLN memang membutuhkan USD. Di sisi lain, hampir semua pendapatan PLN berasal dari subsidi listrik serta pembayaran konsumen dalam denominasi rupiah. "Jadi, ada risiko kurs yang selalu dihadapi PLN," jelasnya. 

Wakil Ketua Banggar DPR Tamsil Linrung menuturkan, saat ini APBN 2015 memang memiliki keterbatasan anggaran untuk mendukung investasi sektor kelistrikan. Namun demikian, dia berharap pemerintah dan DPR periode mendatang bisa memberikan perhatian yang lebih agar PLN tidak terlalu bergantung pada utang. (owi/c22/agm) 
 

BACA JUGA: Perkuat Gadai dan Cicil Emas

BACA ARTIKEL LAINNYA... Prioritaskan Industri Berbasis Pangan, Pasar Asia Pasifik Bisa Dikuasai


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler