Perdana Menteri Anthony Albanese mengumumkan usulan pertanyaan yang akan ditanyakan kepada warga Australia pada referendum tahun ini dan draf amandemen konstitusi yang akan memberi masyarakat Aborigin suara dalam penentuan undang-undang yang mempengaruhi kehidupan mereka.
PM Albanese hari Kamis (23/03) di Canberra mengatakan Kelompok Kerja Referendum sekarang sudah sepakat dengan pertanyaan yang akan diajukan.
BACA JUGA: Proyek IKN Dikhawatirkan Mengancam Orangutan dan Membuat Teluk Balikpapan Jadi Kolam Limbah
"Usulan Perubahan Hukum: mengubah Konstitusi untuk mengakui Bangsa Pertama Australia dengan pembentukan Aboriginal and Torres Strait Islander Voice. Apakah anda setuju dengan perubahan tersebut?
Selain itu juga, warga Australia juga akan ditanya dalam referendum apakah setuju agar konstitusi diubah dengan memasukkan paragraf baru berjudul "Pengakuan terhadap Warga Aborigin dan Torres Strait Islander.
BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Tahun Ajaran Baru Dimulai di Afghanistan, Murid Perempuan Tak Boleh Sekolah
Dalam pernyataan yang penuh emosi, PM Albanese mengharapkan warga Australia akan mendukung referendum dengan mengatakan ini akan memberikan hasil yang lebih baik bagi warga asli Australia.
"Kalau tidak sekarang, kapan lagi? Ini adalah kesempatan bukan untuk politisi, ini kesempatan bagi seluruh warga Australia," katanya.
BACA JUGA: Perppu Cipta Kerja Resmi Disahkan Sebagai UU, YLBHI: Melanggar Konstitusi
"Satu orang, satu suara. Warga dari semua kepercayaan, semua latar belakang, kita semua punya hak yang sama.
"Kita semua bisa memiliki hak yang sama untuk apa yang kita percaya merupakan momen yang menginspirasi dan mempersatukan Australia."
Desakan referendum bertajuk First Nations Voice to Parliament ini sudah bergulir sejak tahun 2017 usai Pertemuan Uluru yang menyepakati perlunya pembentukan lembaga perwakilan rakyat bagi penduduk asli di Australia.
Lembaga tersebut dinamai Voice to Parliament atau Suara untuk Parlemen, dan akan memiliki kewenangan terkait undang-undang dan kebijakan Pemerintah Australia yang berdampak pada seluruh masyarakat pribumi.
Kalangan pakar hukum berpendapat bahwa konstitusi harus diubah sehingga Voice to Parliament menjadi ketentuan permanen di Australia.
PM Albanese mengatakan pemerintah akan mengusulkan draf referendum tersebut ke parlemen minggu depan dan membentuk komite bersama di parlemen yang akan mempertimbangkannya.
Anggota parlemen kemudian akan melakukan pemungutan suara pada bulan Juni.
PM Albanese mengatakan dia pernah mendapat pertanyaan apakah ada kemungkinan referendum ini tidak akan berlangsung.
"Jawabannya adalah tidak, karena kalau ini tidak ada pemungutan suara berarti kita mengakui kekalahan," katanya.Pertanyaan dalam referendum masih bisa berubah
Pengumuman mengenai referendum Voice to Parliament tersebut muncul setelah PM Albanese bertemu dengan anggota Kelompok Kerja Referendum yang terdiri dari perwakilan komunitas warga asli dari seluruh Australia.
Pertemuan dilangsungkan pada Rabu malam untuk mencapai persetujuan akhir rancangan referendum.
Kelompok ini sudah menghabiskan waktu beberapa bulan untuk mencapai persetujuan mengenai pertanyaan dalam referendum, termasuk menghilangkan kata-kata "pemerintahan eksekutif" dari perubahan draf, namun usulan itu ditolak.
Usulan perubahan konstitusi lewat referendum ini pada dasarnya selaras dengan apa yang sudah disampaikan oleh PM Albanese di Garma Festival di Northern Territory tahun lalu.
Kata-kata yang diusulkan hari ini masih bisa berubah ketika parlemen membicarakannya secara resmi.Pihak oposisi minta agar nasihat hukum ditampilkan ke publik
Pemimpin partai oposisi utama Peter Dutton menyerukan agar pendapat hukum yang disampaikan oleh Jaksa Agung terkait usulan draf referendum ditampilkan ke publik.
"Dari yang saya baca dari laporan media, Jaksa Agung mempermasalahkan beberapa kata, dan meski ada sedikit perubahan, tidak ada perubahan mendasar, " kata Dutton.
"Tanpa mengetahui apa yang dipermasalahkan, bagaimana warga Australia bisa melakukan pilihan yang jelas mengenai masalah yang sangat penting ini?"
Dutton mengatakan Partai Liberal belum memutuskan apakah akan mendukung Referendum.
"Kami mau merenungkan, mempertimbangkan usulan pemerintah dan melihat pro dan kontra, dan kemudian membuat keputusan apakah akan mendukung," katanya.
Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari ABC News.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Umat Islam Indonesia di Australia Antusias Menyambut Ramadan 1444 Hijriah