Perdana Menteri Malcolm Turnbull telah menulis surat ke seluruh kepala sekolah di Australia mendesak agar mereka membantu memberantas intimidasi dan kekerasan, baik secara online maupun di sekolah.
Akhir bulan Maret Australia akan memperingati Hari Aksi Nasional melawan bullying dan Kekerasan.
BACA JUGA: Terkait Tunjangan, Menlu Australia Didesak Umumkan Pacarnya
Surat yang ditulis oleh PM Malcolm Turnbull dan Menteri Pendidikan Simon Birmingham menyatakan sekolah, orang tua dan keluarga memiliki peran untuk mengakhiri kekerasan.
"Kami yakin semua siswa berhak menjadi aman di sekolah," kata surat itu.
BACA JUGA: Lama Kisruh, Operasional Pemkot Perth Terancam Dihentikan
"Bullying dan kekerasan tidak ada tempat di Australia."
Kematian gadis berusia 14 tahun asal Kawasan Australia Utara, Amy 'Dolly' Everett, yang diduga akibat kekersan di sekolahnya, telah menjadi perhatian politisi Australia.
BACA JUGA: Kisah Bertemunya Mantan Teroris dan Para Korban
Menteri Utama negara bagian Queensland, Premier Annastacia Palaszczuk berhasil menempatkan masalah cyber bullying pada agenda Dewan Pemerintahan Australia (COAG).
"PM Malcolm dan Lucy telah berbicara dengan orang tua Dolly dan benar-benar berbicara untuk memahami keadaan yang ia hadapi, dan memang sebagai seorang kakek, ia sangat tersentuh dengan masalah ini," kata Senator Birmingham kepada program radio ABC AM.
"Sekarang apa yang bisa kita lakukan? Tidak ada solusi cepat."
Surat yang dikirim ke sekolah-sekolah di penjuru Australia bersamaan dengan perdebatan yang meluas soal keamanan murid-murid di Australia, setelah juga adanya laporan budaya perpeloncoan di salah satu asrama universitas negeri.
Penulis laporan Red Zone mengungkap contoh mengerikan soal dugaan perilaku kekerasan dan perpeloncoan di penjuru Australia.
Universitas-universitas telah dikritik karena tanggapan mereka soal kekerasan. Mereka berpendapat memiliki keterbatasan untuk mengawasi secara independen asrama di perguruan tinggi.
Senator Birmingham mengatakan siswa yang mengalami kekerasan harus pergi ke polisi.
"Seperti saya katakan penyerangan adalah penyerangan, kami memiliki undang-undang dan harus dipastikan bahwa orang tidak hanya diancam atau didenda atau dikenai sanksi ringan untuk kasus penyerangan," ujarnya.
"Itulah alasan mengapa kita punya sanksi pidana dan dakwaan dan harus ditegakkan."
"Pesannya harus sangat, sangat jelas bahwa tidak ada toleransi dalam kasus penyerangan di kampus, dan universitas akan membantu mahasiswanya melapor ke polisi atau membantu mereka mengambil tindakan agar memastikan budaya ini berubah."
Sementara itu pihak oposisi memperingatkan penghuni asarama agar mengubah mereka dan bagi universitas berhenti mengabaikan tanggung jawab mereka atas kesejahteraan siswa.
"Siswa-siswa ini adalah penghuni asrama, tapi mereka adalah mahasiswa universitas," ujar Tanya Plibersek, wakil ketua partai oposisi, Partai Buruh kepada ABC Radio National.
"Bagi universitas mengatakan 'kita tidak punya kekuatan untuk melindunginya' adalah tidak cukup."
Plibersek mengatakan bahwa cerita tentang kekerasan dan perpeloncoan terjadi saat ia masih jadi pelajar 30 tahun yang lalu.
"Sepertinya sangat sedikit yang berubah," kata Plibersek.
"Ide untuk mengirimkan putra atau putri Anda berusia 18 atau 19 tahun ke asrama universitas... dan tiba-tiba menjadi permainan bagi siswa yang senior pada khususnya, dan dalam beberapa kasus bagi staf, sama sekali tidak dapat diterima."
Plibersek mengatakan ada ruang lingkup dalam kerangka nasional untuk memastikan perguruan tinggi mematuhi standar.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Waspadai Oknum Wanita Yang Tawarkan Tumpangan