jpnn.com, STOCKHOLM - Belum genap satu bulan Perdana Menteri (PM) Swedia Stefan Lofven menjalani periode kedua jabatannya. Kemarin, Selasa (25/9) dia terpaksa lengser. Riksdag, sebutan bagi parlemen Negeri Skandinavia itu, mendepak politikus 61 tahun tersebut lewat mosi tidak percaya.
Sebanyak 204 anggota Riksdag tidak menghendaki Lofven bertahan di kursi PM. Sebab, paham yang dia usung berseberangan dengan rakyat yang belakangan kian ultrakanan.
BACA JUGA: Catatan Unik Antar Swedia ke 8 Besar Piala Dunia 2018
Jumlah suara itu lebih dari cukup untuk mengakhiri kepemimpinan Lofven. Jumlah tersebut sudah lebih dari separo. Total, Riksdag beranggota 346 legislator.
Dalam waktu tiga bulan mendatang, Riksdag harus membentuk pemerintahan baru. Itu berarti delapan partai harus bersinergi demi membentuk pemerintahan. Sebab, tidak ada satu pun partai yang mempunyai suara dominan.
BACA JUGA: Piala Dunia 2018: Curhat Pelatih Jerman Usai Tekuk Swedia
Jika sampai batas waktunya belum juga terbentuk pemerintahan baru, Swedia terpaksa menggelar pemilu.
''Ini adalah awal pertunjukan politik Swedia. Setiap partai akan menunjukkan wajah aslinya,'' ujar Ulf Bjereld, pakar politik pada Gothenburg University, seperti dilansir Reuters.
BACA JUGA: Klasemen Piala Dunia 2018: Swedia Manis, Jerman Kritis
Parlemen yang terbentuk dari pemilu 9 September lalu memang sangat rentan. Koalisi kubu kiri yang dipimpin Lofven mempunyai 144 kursi. Jumlah tersebut hanya selisih satu kursi lebih banyak dari kubu kanan.
Untungnya bagi kubu kanan, ada partai Sweden Democrats (SD) yang popularitasnya melonjak pada pemilu kemarin. Meski diasingkan oleh kedua kubu, partai yang berafiliasi dengan kelompok Neo Nazi itu mendukung pelengseran Lofven.
SD kini menjadi yang terbesar ketiga parlemen dengan 62 kursi. Mereka membawa sentimen anti-imigran yang sukses mendulang simpati rakyat. (bil/c20/hep)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Bikin Korea Sedih, Swedia Akhiri Puasa Sejak 1958
Redaktur & Reporter : Adil