jpnn.com, BANGKOK - Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha pada Kamis (19/11) mengatakan pemerintah akan menggunakan seluruh aturan hukum yang ada untuk menjerat para pengunjuk rasa.
Ancaman itu diserukan Prayuth setelah aksi demonstrasi terus meluas dan massa masih mendesak perdana menteri mundur dari jabatannya serta meminta kekuasaan Maha Raja Vajiralongkorn dikurangi.
BACA JUGA: Pemain Muda Persipura Todd Rivaldo Ferre Segera Bermain di Liga Thailand
Sejumlah aktivis menyuarakan kekhawatiran terhadap pernyataan PM Prayuth, yang dapat berarti beberapa aturan terkait penghinaan terhadap kerajaan akan kembali berlaku.
Thailand memiliki undang-undang yang memberi sanksi keras terhadap para penghina raja, keluarga dan simbol kerajaan.
BACA JUGA: Indonesia Bisa Belajar dari Thailand soal Penanganan Covid-19
"Prayuth telah menyerukan perang terhadap rakyatnya," kata salah satu pemimpin kelompok demonstran dan pengacara hak asasi manusia, Arnon Nampa.
"Untuk aparatur sipil negara yang belum menentukan sikap, kalian dapat memilih untuk hidup di masa lalu atau membangun masa depan bersama kami," kata dia.
BACA JUGA: Mengapa Warga Thailand Berani Secara Terbuka Menentang Kekuasaan Raja?
Rangkaian demonstrasi yang berlangsung sejak Juli 2020 jadi tantangan terbesar buat pemerintah dan kerajaan di Thailand selama berkuasa bertahun-tahun.
Massa aksi juga mengkritik kerajaan, padahal pelaku penghinaan dan pencemaran nama baik kerajaan terancam hukuman penjara sampai 15 tahun.
Prayuth mengumumkan sikapnya itu satu hari setelah ribuan demonstran melempar cat ke markas kepolisian. Aksi itu, menurut massa, merupakan balasan untuk polisi karena mereka melempar gas air mata dan menembakkan meriam air sampai melukai sejumlah demonstran, Selasa (17/11).
Aksi itu jadi unjuk rasa yang paling parah sejak massa mulai turun ke jalan pada Juli.
Beberapa demonstran juga menggambar grafiti anti kerajaan di markas kepolisian. "Situasinya tidak kunjung membaik," kata Prayuth dalam pernyataan tertulisnya.
"Risikonya, aksi ini akan berujung kekerasan. Jika tidak diatasi, maka itu akan berbahaya bagi negara dan kerajaan yang tercinta," kata dia.
"Pemerintah akan menindak lebih keras dan menggunakan seluruh undang-undang, seluruh pasal, untuk menghukum demonstran yanng melanggar hukum," kata Prayuth.
Dalam kesempatan itu, Prayuth tidak menyebutkan secara spesifik pemerintah akan menggunakan Pasal 112 Undang-Undang Hukum Pidana. Pasal itu melarang adanya penghinaan terhadap kerajaan.
Prayuth pada awal tahun ini mengatakan ia tidak menggunakan pasal itu atas permintaan raja.
Polisi sejak Juli telah mengumpulkan bukti yang nantinya dapat digunakan untuk menjerat demonstran karena melanggar aturan tersebut. Namun, sejauh ini kepolisian belum mengambil langkah lebih lanjut, kata seorang sumber dari aparat.
Beberapa pendukung kerajaan, yang marah karena grafiti anti kerajaan, meminta pemerintah segera menggunakan Pasal 112 untuk menghukum massa aksi.
Puluhan demonstran, termasuk para tokoh, telah ditangkap oleh aparat di Thailand dalam beberapa bulan terakhir. Mereka ditangkap karena berbagai tuduhan pelanggaran, tetapi tidak ada yang terkait penghinaan terhadap raja.
Sejak Prayuth menjabat sebagai perdana menteri lewat kudeta pada 2014, ada hampir 100 kasus hukum terkait penghinaan terhadap kerajaan. Namun pada 2018, tidak ada kasus hukum terkait pelanggaran terhadap Pasal 112, demikian data dari iLaw, organisasi pembela HAM di Thailand.
Para demonstran mencurigai Prayuth mencurangi pemilihan umum pada tahun lalu agar tetap berkuasa sebagai perdana menteri dari kalangan sipil. Namun, ia mengatakan pemilu berjalan adil.
Massa aksi kembali merencanakan unjuk rasa skala besar di depan Biro Properti Kerajaan, lembaga quasi pemerintah yang bertugas mengelola kekayaan kerajaan, pada 25 November 2020.
Badan itu dikendalikan langsung oleh Maha Raja Vajiralongkorn dan mengelola dana sebanyak puluhan miliar dolar AS.
Demonstran mengatakan pihaknya akan lanjut menggelar tujuh aksi unjuk rasa setelah 25 November. (ant/dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : Adil