Polarisasi Pilpres 2014 dan Pilkada DKI Berpotensi Lanjut di 2019

Jumat, 05 Mei 2017 – 05:55 WIB
Pilpres 2014. Foto: dok.JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Pengkubuan keras hingga tingkat akar rumput yang terjadi dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 harus menjadi pelajaran.

Kontestasi yang hanya diikuti dua pasangan capres-cawapres itu dianggap tidak baik bagi keharmonisan masyarakat.

BACA JUGA: Isu Korupsi Gerus 40 Persen Suara Lawan Politik

Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Jimly Ashiddiqie mengatakan, dampak dari polarisasi Pilpres 2014 masih terasa hingga sekarang.

Bahkan, lanjut dia, jika melihat basis massanya, yang terjadi atas panasnya pilkada DKI juga tidak terlepas dari pengaruh tersebut.

BACA JUGA: Mau Jadi Wapres? Ahok: Kafir Mana Boleh Jadi Pejabat di Sini

’’Seolah-olah sejak Pilpres 2014 itu kita belum move on,’’ ujarnya setelah menghadiri Prakongres II Etika Berbangsa dan Bernegara di kantor Komisi Yudisial (KY), Jakarta, kemarin (4/5).

Jika melihat kondisi sekarang, tidak tertutup kemungkinan pula polarisasi yang terjadi pada Pilpres 2014 dan pilkada DKI bakal berlanjut pada 2019.

BACA JUGA: Diisukan Maju Sebagai Cawapres, Begini Respons Anak Buah SBY

Untuk itu, ujar dia, konstruksi desain revisi UU Pemilu mendatang harus membuka peluang calon presiden yang terbuka. Harapannya, nanti ada banyak alternatif capres yang bisa dipilih masyarakat.

Desain yang ada dalam UUD 1945, menurut dia, memang mengharapkan adanya capres yang banyak. Karena itu, ada mekanisme dua putaran yang disiapkan.

’’Putaran pertama itu memberi ruang untuk banyak calon,” imbuhnya. Kalaupun putaran kedua sisa dua, kurun waktu yang ada di putaran dua tidak terlampau panjang. Di sisi lain, polarisasinya tidak lagi meruncing sejak awal.

Dia menilai, masyarakat Indonesia belum siap dengan pilihan politik yang saling dihadapkan. Akibatnya, kondisinya menjadi panas. Pilihan politik berdampak langsung dengan renggangnya hubungan pertemanan.

Sementara itu, jika ada banyak alternatif calon, secara psikologis akan lebih adem. ’’Sebaiknya minimal tiga atau empat lah. Itu cukup beraneka ragam untuk mencerminkan kebinekaan Indonesia,’’ terangnya.

Lantas, apakah presidential threshold harus dihapuskan? Mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu menyerahkan ke pansus.

Hanya, jika merujuk putusan MK terkait dengan pemilu serentak, partai peserta pemilu berhak mengajukan calon.

’’Kasih aja kesempatan luas, toh nanti berkoalisi sendiri jika merasa tidak kuat,’’ ungkapnya. (far/c4/agm)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Digadang jadi Cawapres Pendamping Prabowo, TGB Menyatakan...


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag
Pilpres 2019   Capres   Capres  

Terpopuler