jpnn.com - Kasus dugaan korupsi pengadaan wastafel untuk sekolah di Aceh pada tahun 2020 terus menjadi sorotan, terutama dengan munculnya nama Bustami Hamzah, mantan Penjabat (PJ) Gubernur Aceh yang kini mencalonkan diri pada Pilgub Aceh 2024.
Proyek pengadaan wastafel ini, yang bertujuan untuk mencegah penyebaran Covid-19, menghabiskan anggaran sebesar Rp 43,7 miliar dan menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 7,2 miliar, menurut hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Aceh.
BACA JUGA: 3 Terdakwa Kasus Narkoba di Aceh Dijatuhi Hukuman Mati
Bustami Hamzah disebut memiliki keterlibatan dalam aliran dana dari proyek tersebut. Saat menjabat sebagai Kepala Badan Pengelolaan Keuangan Aceh (BPKA), namanya muncul dalam sejumlah memo terkait pengadaan wastafel.
Dugaan ini semakin dikuatkan oleh kesaksian yang muncul dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Banda Aceh.
BACA JUGA: KPU Diminta untuk Ambil Alih Pelaksanaan Pilgub Aceh
Jaringan Aktivis Nusantara (JAN) Aceh Raya mendesak agar Polda Aceh segera memanggil dan memeriksa Bustami Hamzah terkait kasus ini.
“Polda harus bertindak tegas dan tidak ragu memanggil Bustami, meskipun dia sekarang mencalonkan diri sebagai gubernur. Bukti keterlibatannya jelas, dan publik berhak mengetahui kebenarannya,” kata Alimin, perwakilan JAN Aceh Raya, kepada wartawan, Jumat (4/10).
BACA JUGA: Polres Aceh Barat Tangkap Istri Pimpinan Ponpes yang Siram Air Cabai ke Santri
Alimin juga menyatakan bahwa Polda Aceh harus meningkatkan kinerja dalam menangani kasus ini. Sudah ada bukti kuat terkait peran Bustami Hamzah dalam proyek pengadaan wastafel tersebut.
“Jangan sampai posisi politik Bustami membuat proses hukum melambat. Justru, seharusnya ini menjadi alasan untuk mempercepat pemeriksaan sebelum proses Pilkada dimulai,” ujarnya.
Dalam persidangan, terungkap bahwa Bustami Hamzah, yang saat itu menjabat sebagai Kepala BPKA, terlibat dalam pemberian memo yang berisi nama-nama penerima paket pengadaan wastafel.
Memo tersebut diserahkan kepada Rachmat Fitri, Kepala Dinas Pendidikan Aceh.
Rachmat menyebut bahwa sejak awal proyek ini sudah terdapat kejanggalan dalam pelaksanaannya, terutama terkait dengan arahan pemberian proyek kepada pihak-pihak tertentu tanpa melalui prosedur yang benar.
"Peran Bustami dalam pengadaan wastafel ini sangat penting, terutama karena dia yang terlibat langsung dalam penentuan penerima proyek dan proses penganggaran," ungkap Alimin.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam persidangan mengungkapkan bahwa ada 38 penerima aliran dana dari proyek wastafel ini, termasuk Bustami Hamzah, yang disebut menerima Rp 38,5 juta.
Meskipun jumlah ini terlihat lebih kecil dibandingkan dengan penerima lainnya seperti Hendri Yuliadi (Rp 1,48 miliar) dan Zulkamaen Alias Aduen (Rp 531 juta), posisi Bustami sebagai pejabat kunci dalam proyek ini membuat keterlibatannya menjadi signifikan.
Selain desakan dari JAN, Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) juga telah mengajukan praperadilan untuk menuntut penyelidikan lebih lanjut atas Bustami Hamzah dan pejabat lainnya.
YARA menyatakan bahwa ada kekhawatiran terkait penghentian penyelidikan terhadap beberapa pihak yang terlibat tanpa transparansi, yang dapat menimbulkan kesan tebang pilih dalam penegakan hukum.
"Kami mendesak agar tidak ada diskriminasi dalam proses hukum. Polda Aceh harus segera memeriksa Bustami Hamzah untuk memastikan bahwa hukum ditegakkan secara adil dan terbuka," kata Alimin.
Kasus ini telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat Aceh, terutama karena Bustami Hamzah kini mencalonkan diri sebagai gubernur. Banyak pihak mempertanyakan integritasnya sebagai calon pemimpin, mengingat keterlibatannya dalam dugaan korupsi yang merugikan negara.
"Kami tidak bisa menerima calon pemimpin yang terlibat dalam kasus seperti ini. Hukum harus ditegakkan sebelum Pilkada," kata seorang aktivis antikorupsi Aceh.
JAN juga menekankan bahwa kasus ini seharusnya menjadi momentum untuk memperbaiki sistem pengadaan barang dan jasa di Aceh.
Reformasi yang mendalam diperlukan untuk mencegah kejadian serupa terulang.
“Pengawasan yang lebih ketat dan transparansi harus menjadi prioritas, terutama dalam proyek-proyek yang melibatkan anggaran besar seperti ini,” tutup Alimin. (dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Adil Syarif