jpnn.com, JAKARTA - Profesionalisme Polda Metro Jaya dipertanyakan dalam perkara dugaan praktik mafia tanah di Jalan Pecenongan, Jakarta Pusat, antara PT. MAS dengan seorang warga sekaligus ahli waris bernama R Lutfi yang sekian lama menyandang status tersangka tanpa kepastian hukum.
Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Metro Jaya setidaknya telah menerbitkan empat surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) dan surat perintah penyidikan (Sprindik) sejak laporan PT. MAS terhadap Lutfi atas tuduhan memasuki pekarangan tanpa izin yang berhak, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 KUHP ditangani Polda Metro Jaya pada 2016.
BACA JUGA: Gandeng BPN dan KPK, PLN Sertifikasi 71 Ribu Aset Tanah
“Penyidik terkesan ‘buying time’ dengan terus menerbitkan SPDP baru dalam perkara ini. Kita minta Kapolri turun tangan menyelesaikan kesewenang-wenangan penegakan hukum yang diduga dilakukan oknum jajarannya,” tukas Patrice Rio Capell, kuasa hukum R. Lutfi, Selasa (10/5).
Rio Capella menegaskan perkara ini pernah dihentikan penyidikannya (SP3) oleh Polda Metro Jaya melalui surat bernomer B/243/v/2017/Ditreskrimum. Anehnya, perkara tersebut kembali dibuka dengan pelapor, terlapor, dan obyek perkara yang sama.
BACA JUGA: Gegara Sengketa Tanah, Dua Emak-emak Cekcok, Berakhir dengan Pembakaran Rumah
Pasca SP3 penyidikan perkara terkatung-katung hingga saat ini. Setidaknya empat sprindik telah diterbitkan Ditreskrimum Polda Metro Jaya.
Keempat sprindik tersebut terbit melalui SP.sidik/555/II/2018/Ditreskrimum tertanggal 2 Februari 2018, sprindik kedua dengan nomor SP.sidik/1212/III/2019/Ditreskrimum tertanggal 21 Maret 2019, kemudian terbit lagi sprindik baru dengan nomor SP.sidik/2674/VIII/RES.1.2/2021/Ditreskrimum tertanggal 13 Agustus 2021.
BACA JUGA: Gegara Sengketa Tanah, John Kei Sakit Hati Kemudian Terjadilah
Adapu, sprindik dan SPDP keempat kembali dikirimkan Polda Metro Jaya pada April 2022. Uniknya, berkas dikembalikan Kejati DKI dikarenakan alasan cacat administrasi, dan hingga kini berkas tersebut belum juga dilimpahkan Polda Metro ke Kejati DKI.
Sumber di Kejati DKI menyebutkan dasar alasan pengembalian SPDP Polda yang berulang-ulang disebabkan penyidik Ditreskrimum tidak mampu memenuhi petunjuk-petunjuk yang diajukan jaksa.
Penyalahgunaan Kekuasaan
Terkait hal ini, Guru Besar Hukum Universitas Padjadjaran Prof. I Gede Pantja Astawa sempat menegaskan bahwa UU Kepolisian menekankan pelarangan terbitnya double sprindikalias sprindik ganda yang disebutkan sebagai penyalahgunaan kekuasaan.
"Terlepas dari ada atau tidaknya conflict of interest antara penyidik dan pelapor, maka kalau mengacu pada UU Kepolisian yang melarang terbitnya sprindik double, tindakan Polda Metro Jaya sudah masuk dalam kategori abuse of power," tutur Astawa.
"Ini akan menimbulkan ketidakpastian hukum khususnya bagi tersangka, terlebih perkaranya sudah pernah di-SP3-kan," imbuhnya.
Sebagai gambaran, Rio menjabarkan bahwa Lutfi merupakan pemilik asli tanah tersebut secara turun temurun sejak 1947, dengan legalitas kepemilikan berupa Eigendom Verponding Nomor 8923 yang tercatat, di BPN Kota Jakarta Pusat.
Namun, suatu waktu PT. MAS tiba-tiba mengklaim tanah itu sebagai miliknya dengan dasar legalitas SHGB Nomor 1444/Kebon Kelapa yang diterbitkan oleh kantor BPN Kota Jakarta Pusat, pada 31 Maret 1989, kepada PT. Perkebunan XI yang notabene berstatus sebagai penyewa di tanah keluarga Lutfi.
Disebutkan dalam SHGB itu bahwa riwayat penerbitannya berasal dari tanah negara bekas HGB Nomor 130, 131, 132, 134, 142/Kebon Kelapa dengan Eigendom Verponding Nomor 20850, 20847, 8387, 20851, dan 21896 yang ternyata tak satu pun berkesesuaian dengan lokasi tanah milik keluarga Lutfi.
Kendati tidak berkesesuaian alas hak, penyidik tetap memproses laporan PT MAS, bahkan menetapkan Lutfi sebagai tersangkauntuk kedua kalinya.
“Ini bukan hanya persoalan ketidakpastian hukum, namun juga keadilan masyarakat yang dirampas, serta kemanfaatan hukum yang tidak dirasakan oleh klien kami,” tandas Rio Capella. (dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Adil Syarif