JAKARTA--Dualisme hukum perdata anak di luar nikah yang saling bertentangan terus menggelinding di masyarakat. Kementerian Agama (Kemenag) meminta MK dalam memutuskan aturan hak perdata anak ""haram"" mempertimbangkan aspek non hukum positif. Alquran dan hadis.
Wakil Menteri Agama (Wamenag) Nasaruddin Umar menjelaskan, masyarakat pasti resah jika dua putusan tentang hak perdata anak haram itu dibiarkan berlarut. Sebab mereka dibenturkan dengan aturan konstitusi dan aturan syariah yang saling bertentangan.
Dia menerangkan, di satu sisi MK masih kukuh pada keputusannya jika anak haram itu memiliki hak perdata dengan pihak ibu dan bapak. Sedangkan MUI melalui fatwa yang didasari ayat alquran dan hadis, ngotot jika anak haram hanya memiliki nasab dengan pihak ibu dan keluarga ibu saja.
""Konstitusi tidak boleh melanggar syariah,"" tegas mantan Dirjen Bimas (Bimbingan Masyarakat) Islam Kemenag itu. Dia menerangkan, jika aturan MK tadi dijalankan maka akan bertentangan dengan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang kental sekali menggunakan landasan syariah. Jika dalam UU itu diatur anak hasil zina adalah anak ibunya, maka MK melalui putusannya telah menafikkan aturan tersebut.
Untuk itu, Nasaruddin mengatakan sejatinya MK dalam menetapkan aturan tentang hak perdata anak yang lahir di luar nikah ini harus juga mempertimbangkan hukum alquran dan hadis. ""Dua aspek non hukum positif itu harus dipertimbangkan MK,"" kata dia. Sebab, jika tidak demikian maka putusan MK itu akan diacuhkan oleh masyarakat.
Karena putusan MK tentang hak perdata anak haram sudah terlanjur keluar, Nasaruddin berharap MK bisa berbesar hati untuk mengoreksi putusan tersebut. Sehingga, tidak bersebrangan dengan fatwa MUI yang didasarkan pada alquran dan hadis. ""Sebab dalam alquran dan hadis memang sudah jelas-jelas anak zina hanya memiliki nasab atau hak perdata dengan pihak ibu,"" urai Nasaruddin.
Sementara itu untuk MUI, Nasaruddin berharap ada fatwa baru yang bisa mengakui putusan MK tadi. Meskipun dia tahu upaya ini jika akan sulit terwujud. Sebab, MUI tidak bisa lepas dari kajian alquran dan hadis. Pada intinya, Nasaruddin berharap dua pihak ini bisa legawa untuk mencari jalan tengah. Rencananya, Kemenag akan memfaslitasi pertemuan antara MK dan MUI untuk mencari jalan tengah hak-hak anak hasil zina.
Secara kelembagaan, Nasaruddin mengatakan Kemenag masih terus menghadapi dilema yang super berat. Dia mengatakan, Kemenag tidak bisa bermanuver menjalankan putusan MK. Karena akan menabrak hukum syariat Islam sebagaimana sudah difatwakan MUI. Sebaliknya, jika Kemenag nekat menjalankan fatwa MUI dan meninggalkan putusan MK, maka mereka bisa melnggar konstitusi. ""Sangat dilema sekali. Tapi bagaimanapun harus dicarikan titik temunya,"" ucap dia.
Di bagian lain, Ketua Bidang Fatwa MUI Ma"ruf Amin mengatakan, pihaknya tidak akan bisa mengeluarkan fatwa baru yang isinya melegitimasi atau mengakui putusan MK. ""Jika kita melegitimasi, berarti menyimpang dari hukum Islam. MUI tidak mungkin melegitimasi itu,"" katanya. Dia menegaskan MK tidak boleh menyamakan hak perdata antara anak hasil perkawinan dengan anak hasil zina.
""MK itu boleh membuat penafsiran. Tapi penafsiran yang tidak menimbulkan persoalan kan,"" katanya. Menurut Ma"ruf, persoalan ini muncul karena sebelumnya anak zina ini tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah, tetapi akhirnya memiliki hubungan dengan ayah. Ma"ruf mengatakan, sebaiknnya MK meminta maaf kepada masyarakat dan memperbaiki putusan itu supaya tidak bias lantas meresahkan. (wan)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pemerintah Janji Evaluasi Upah Buruh
Redaktur : Tim Redaksi