Polemik Jilbab dan Realitas Politik

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Selasa, 02 Agustus 2022 – 21:00 WIB
Gubernur Anies Baswedan, Ferry Farhati, dan besan berfoto bersama Presiden Jokowi dan Ibu Iriana saat malam resepsi Mutiara Annisa Baswedan-Ali Saleh di Candi Bentar Hall, Ancol, Jakarta Utara, Jumat (29/7). Foto: dokumentasi Pemprov DKI.

jpnn.com - Presenter Najwa Shihab sering dirundung oleh netizen gegara tidak memakai jilbab, padahal, ayahnya, Quraish Shihab adalah ulama besar.

Pertanyaan serupa ditujukan kepada keluarga Gus Dur dan Cak Nur dalam berbagai kesempatan. 

BACA JUGA: Viral Pengakuan Orang Tua Siswi SMP Anaknya Disindir Tidak Memakai Jilbab, Bikin Gaduh

Sekarang pertanyaan itu ditujukan kepada Anies Baswedan karena putrinya, Mutiara Anissa, tidak berjilbab.

Pertanyaan itu muncul seiring viralnya pesta pernikahan putri Anies Baswedan dengan Ali Saleh Alhuraiby. 

BACA JUGA: Hijab

Pesta tiga hari tiga malam itu meriah dan kolosal, dihadiri semua petinggi politik nasional, mulai dari presiden dan wakil presiden dan para tokoh partai (kecuali PDIP).

Dalam pesta itu, pasangan pengantin mengenakan busana mantenan Jawa tanpa jilbab. Selama ini, Mutiara alias Tia memang tidak berjilbab.

BACA JUGA: Di Pernikahan Putrinya, Anies Pakai Busana Rancangan Putra Prabowo, Berapa Harganya?

Banyak komentar bermunculan. Malah ada yang meminta supaya Tia memakai jilbab demi membulatkan suara dukungan untuk ayahnya pada Pilpres 2024. 

Aktivis medsos Dr Tifa dalam sebuah unggahannya meminta Tia untuk memakai jilbab supaya dukungan umat Islam kepada Anies Baswedan makin kuat.

Sekarang Anies masuk dalam gerbong jajaran tokoh yang Islam yang keluarganya tidak memakai jilbab. 

Prof Quraish Shihab sudah lama berada di dalam gerbong itu dan mungkin dianggap sebagai masinisnya.

Prof Quraish seorang ahli tafsir, sudah hafal betul pertanyaan itu karena sudah ditanyakan berkali-kali. 

Hal yang sama juga dialami almarhum Noercholish Madjid alias Cak Nur yang sering mendapatkan serangan soal jilbab yang bersifat personal, karena istrinya, Omie Madjid, dan putrinya, Nadia Madjid, yang mukim di Amerika, tidak berjilbab. 

Hal yang sama juga dialamatkan kepada almarhum Gus Dur, Abdurrahman Wahid, yang istri dan putri-putrinya tidak berjilbab, dan hanya mengenakan kerudung. 

Putri ragil Gus Dur, Inayah Wulandari, malah tampil polosan dan nyentrik dengan rambut yang disemir warna-warni.

Bagi Gus Dur mudah sekali menangkis serangan itu. Dengan gaya "slengekannya" yang khas Gus Dur bisa menjawab dengan mudah melalui konsep ‘’Pribumiisasi Islam’’ bahwa jilbab adalah bagian dari budaya yang bisa disesuaikan dengan budaya lokal.

Suatu ketika Gus Dur ditanya mengenai penyebab terjadinya gempa bumi di Bantul, DIY pada 2006. Dengan enak Gus Dur menjawab gempa terjadi karena Nyai Roro Kidul dipaksa memakai jilbab. Jawaban "slengekan" ini menjadi terkenal karena lucu khas Gus Dur.

Cak Nur dan Gus Dur sama-sama dari Jombang, Jatim. Sama-sama dianggap sebagai pentolan Islam liberal dan pemikiran-pemikirannya kerap kontroversial dan tidak bisa diterima oleh kalangan Islam konservatif. 

Gus Dur ceplas-ceplos, tanpa tedeng aling-aling, gaya bicaranya sering ludrukan khas Jombang. 

Cak Nur lebih halus, intelektual, dan sejuk. Akan tetapi, gagasan dua orang itu sama-sama tajam dan menusuk.

Prof Quraish lebih mendalami tafsir kontemporer sedangkan Cak Nur dan Gus Dur lebih asyik dengan khazanah pemikiran Islam klasik sampai kontemporer. 

Namun, dalam soal jilbab, tiga tokoh itu senasib dan sepenanggungan, sama-sama mendapatkan serangan pribadi.

Ketiga tokoh itu punya pandangan yang kurang lebih sama dalam soal jilbab. Mereka lebih melihatnya sebagai bagian dari budaya ketimbang syariah. Ketiganya juga melihat tidak ada perintah yang tegas mengenai kewajiban berjilbab dan lebih melihat faktor decency, kepantasan dalam berpakaian. 

Karena itu, Najwa Shihab tidak pakai kerudung, Prof Shihab santai saja. Mbak Omie dan Nadia tampil polosan tanpa jilbab, Cak Nur tenang-tenang saja, dan ketika Bu Sinta, Mbak Yenny, dan adik-adiknya hanya menyampirkan kerudung di kepala, Gus Dur ketawa-ketawa saja. Gitu saja kok repot.

Akan tetapi, tentu saja, urusannya tidak sesederhana itu. Urusan jilbab menjadi kontroversi serius sepanjang sejarah Indonesia sejak Orde Baru sampai sekarang. 

Debat jilbab menjadi simbol pertarungan antara sekularisasi dan formalisasi agama di Indonesia sampai sekarang. 

Kasus seorang siswa SMA di Bantul yang dikabarkan dipaksa memakai jilbab dengan cepat menjadi kontroversi nasional.

Sukmawati Soekarnoputri memperbandingkan jilbab dengan konde dan suara kidung dengan azan.

Perbandingan ini menimbulkan kontroversi yang panas karena memperhadapkan agama dengan budaya.

Dua faktor itu selalu diperhadapkan secara diametral dan seolah-olah tidak bisa dipertemukan.

Jilbab adalah sebuah identitas. Dengan berjilbab, seorang wanita muslimah bisa mengidentifikasikan dirinya dari wanita lain yang bukan muslimah. Karena itu, ketika masalah ini diusik lagi sebagian kalangan muslim langsung menyala panas karena menganggapnya sebagai ancaman terhadap identitas.

Politik identitas atau politik aliran menjadi perdebatan sepanjang zaman. Di Indonesia, perdebatan soal politik identitas lebih fokus pada isu politisasi Islam dan islamisasi politik. 

Islam politik membawa aspirasi kuat untuk menjadi dasar negara yang diperdebatkan dengan sangat keras oleh para founding fathers menjelang kemerdekaan Indonesia, 1945.

Pancasila diterima sebagai dasar negara dan Ketuhanan Yang Maha Esa ditaruh di posisi tertinggi nomor satu. Namun, itu belum cukup. Kalangan Islam masih minta supaya ada tambahan tujuh kata “dan kewajiban menjalankan syariah bagi pemeluk Islam”. 

Tujuh kata itu seperti “seven magnificent” yang menjadi perdebatan keras dan mengancam kemerdekaan dan pembentukan negara Indonesia yang bersatu.

Politik identitas terjadi seluruh dunia dan belakangan memperoleh momentumnya kembali. 

Donald Trump di Amerika memainkan politik identitas yang keras. Donald Trump di Amerika mengusung semboyan ”America First”, utamakan Amerika yang berkulit putih dan jangan mengurusi orang lain yang masuk ke Amerika. 

Trump rupanya lupa bahwa kaumnya yang berkulit putih itu juga pendatang dari Inggris pada abad ke-18.

Trump kalah oleh Joe Biden pada Pilpres 2019, tetapi Trump tidak menyerah. 

Sampai sekarang Trump masih terus melawan Biden dan tidak mengakui kekalahannya. Trump menganggap kekalahannya terjadi karena kecurangan penghitungan.

Sekarang Trump bersiap-siap untuk bertarung lagi pada Pilpres 2024 dan peluangnya masih tetap terbuka.

Konservatisme di Amerika mendapat angin besar setelah Supreme Court atau Mahkamah Agung Juni lalu mencabut hak aborsi yang sudah berlaku sejak 1973. 

Hak aborsi menjadi ikon gerakan liberal di Amerika dan pencabutan hak aborsi dianggap sebagai kekalahan besar liberal dan kemenangan besar kelompok agama.

Pertentangan liberal vs konservatif di Amerika ada kemiripan dengan pertentangan cebong vs kadrun di Indonesia. 

Setiap kali muncul isu politik selalu terjadi polarisasi antara dua kelompok kiri dan kanan itu.

Isu besar maupun kecil selalu memantik perdebatan yang meluas menjadi kontroversi nasional.

Insiden jilbab di Bantul adalah insiden kecil yang bisa diselesaikan di level lokal. Akan tetapi, insiden itu ditarik menjadi isu besar yang kemudian memicu kembali perdebatan lama yang kambuh lagi dan lagi.

Insiden yang sama pernah terjadi di Padang, Sumatera Barat, pada 2021 yang lalu. 

Ketika itu muncul berita bahwa seorang siswi non-muslimah diharuskan berjilbab yang menjadi seragam resmi sekolah. 

Pro dan kontra meluas secara nasional. Publik Sumbar menuntut agar budaya lokal yang bersendikan syariah Islam diakui.

Masyarakat Minangkabau, Sumbar punya tradisi ‘’adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah’’, tradisi bersendikan syariah dan syariah bersendikan kitabullah Al-Qur'an. Banyak yang tidak setuju ketika hal itu dipakai sebagai justifikasi untuk mengharuskan semua siswi untuk memakai jilbab sebagai bagian dari adat Minangkabau yang bersendikan syariah.

Keributan itu mereda dengan sendirinya. Sekarang, Presiden Joko Widodo sudah meneken ‘’Undang-Undang Sumatera Barat’’ yang secara resmi mengakui tradisi Minangkabau yang bersendikan syariah. 

Dengan undang-undang itu masyarakat Minangkabau boleh mengekspresikan adat-istiadat Islam dalam praktik kehidupan sehari-hari, termasuk memakai jilbab di sekolah.

Sebutlah ini sebagai pragmatisme Jokowi untuk menarik simpati pemilih di Sumatera Barat yang selama ini cenderung antagonististis. 

Akan tetapi, itulah realitas politik yang menunjukkan bahwa konservatisme di Indonesia masih sangat kuat, dan tetap akan menjadi faktor penentu dalam kontestasi politik pada 2024. (*)


Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler