Polemik Perppu KPK, Ini Saran Komunitas SH Muslim untuk Jokowi

Sabtu, 05 Oktober 2019 – 15:25 WIB
Presiden Jokowi saat konferensi soal revisi UU KPK, di Istana Negara, Jakarta, Jumat (13/9). Foto: BPMI Setpres

jpnn.com, JAKARTA - Komunitas Sarjana Hukum Muslim Indonesia (KSHUMI), menilai penerbitan Perppu KPK merupakan pertaruhan bagi posisi politik Presiden Joko Widodo alias Jokowi di mata masyarakat dan partai politik pendukungnya.

Ketua Eksekutif Nasional BHP KSHUMI, Chandra Purna Irawan bahkan menganggap Jokowi sedang bimbang dalam memutuskan penerbitan Perppu untuk menganulir perubahan UU Nomor 30/2002 tentang KPK yang telah disetujui paripurna oleh DPR.

BACA JUGA: Polemik Perppu KPK, Moeldoko Akui Pemerintah seperti Disodori Buah Simalakama

"Presiden Joko Widodo gamang dan bimbang. Apakah akan mempertimbangkan tuntutan mahasiswa dan masyarakat dan atau pertimbangan partai politik," ucap Chandra, Sabtu (5/10).

Oleh karena itu, KSHUMI memberikan sejumlah pendapat hukum untuk Jokowi terkait Perppu KPK. Pertama, berdasarkan UUD 1945 Pasal 22 ayat (1), kekuasan presiden di bidang legislatif lebih besar dari pada DPR, karena dalam kondisi kegentingan memaksa bisa menerbitkan Perppu.

BACA JUGA: Perppu KPK Berpotensi Mengadu Domba Masyarakat

Berikutnya, Chandra berendapat bahwa alasan kegentingan memaksa untuk menerbitkan Perppu KPK sudah terpenuhi. Hal itu dapat dilihat dari substansi (materiil) UU KPK yang baru dapat melemahkan kewenangan lembaga itu dalam pemberantasan korupsi

"Serta ditambah fakta telah terjadi unjuk rasa massif dan rata di seluruh Indonesia, berupa penolakan terhadap UU KPK yang baru dan terdapat korban jiwa yang meninggal dunia," kata sekjen LBH Pelita Umat ini.

BACA JUGA: Mungkinkah Pendukung Perppu KPK Hanya Ingin Menjerumuskan Jokowi?

Apabila dibandingkan fakta dan peristiwa hukum yang dapat dijadikan alasan diterbitkan Perppu KPK dan Perppu Ormas, kata Chandra, kondisi saat inilah yang dapat dinilai memenuhi unsur kegentingan memaksa ketimbang saat Perppu Ormas dikeluarkan.

"Perppu Ormas diterbitkan dikarenakan terdapat alasan politis saja, tidak terdapat korban jiwa, tidak terdapat bentrokan di tingkat sipil secara massif dan merata, apa kegentingannya? Yang ada hanya persoalan politik pascaPilkada DKI," tegas Chandra.

Soal pendapat tidak perlu Perppu KPK, cukup dilakukan judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK), KSHUMI tanpa bermaksud memarginalkan MK, tak setuju dengan hal itu. Sebab, yang menjadi batu uji dalam judicial review adalah apakah UU KPK yang baru bertentangan dengan konstitusi atau tidak.

Dalam konteks itu, apabila publik menganggap UU KPK yang baru ini buruk, tapi belum tentu bertentangan dengan konstitusi. Contohnya Dewan Pengawas, kewenangan SP3 dan lainnya, harus dapat dikonstruksikan bertentangan dengan konstitusi.

Untuk itu, Chandra berpendapat satu-satunya jalan keluar adalah mendorong agar Presiden Jokowi menerbitkan Perppu atas perubahan UU KPK yang telah disahkan DPR. Meskipun, rencana ini bakal mendapat penolakan dari parpol pendukung.

"Apabila Presiden tidak mengeluarkan Perppu KPK, maka masyarakat akan menilai Jokowi lebih menghitung posisi politiknya terhadap parpol ketimbang rakyat. Sekaligus memperlihatkan posisi yang sebenarnya dalam agenda pemberantasan korupsi. Padahal Jokowi berjanji akan memperkuat KPK dalam janjinya ketika Pilpres," tandas Chandra.(fat/jpnn)


Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler