JPNN.com

Polemik THR untuk Mitra Aplikator Jadi Ancaman Industri Digital

Rabu, 26 Februari 2025 – 13:31 WIB
Polemik THR untuk Mitra Aplikator Jadi Ancaman Industri Digital - JPNN.com
Sejumlah pengamat menilai polemik THR untuk mitra aplikator jadi ancaman industri digital. Ilustrasi Foto: dok.JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Polemik mengenai status mitra aplikator dan tuntutan pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) terus menjadi sorotan di berbagai media massa di Indonesia.

Pemerintah pun mulai terlibat dengan merancang inisiatif yang berencana mewajibkan pemberian THR bagi mitra platform digital. 

BACA JUGA: Generasi Muda Ingin Prabowo-Gibran Menang demi Mewujudkan Kemajuan Industri Digital

Namun, rencana ini menuai pro dan kontra dari berbagai pihak, termasuk pelaku industri dan akademisi. 

Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) mendesak pemerintah agar menetapkan regulasi yang mewajibkan perusahaan ride-hailing memberikan THR dalam bentuk tunai, bukan insentif.

BACA JUGA: Regulasi THR Bagi Mitra Pengemudi Online Dinilai Menghambat Pertumbuhan Industri

Namun, kebijakan ini dinilai dapat menjadi beban tambahan bagi perusahaan dan berisiko menghambat pertumbuhan industri. 

Saat ini banyak perusahaan berbasis platform digital masih menghadapi tantangan keuangan, meskipun beberapa di antaranya telah mencapai profitabilitas. 

BACA JUGA: Pengemudi Ojol Tuntut THR, Ini Respons Wamenaker

"Jika kebijakan ini diterapkan, perusahaan mungkin akan menaikkan tarif layanan, menghapus program benefit, atau bahkan melakukan pemutusan hubungan kerja secara massal untuk mengurangi biaya operasional," kata Direktur Eksekutif Asosiasi Mobilitas dan Pengantaran Digital Indonesia (Modantara), Agung Yudha, Rabu (26/2).

Beberapa negara telah mengalami dampak negatif akibat regulasi ketat terhadap pekerja gig. Misalnya, di Spanyol, setelah pemerintah menerapkan undang-undang yang mewajibkan pengemudi menjadi karyawan tetap, platform seperti Uber dan Deliveroo mengurangi jumlah pengemudi hingga 50 persen.

Akibatnya, banyak pekerja gig kehilangan pekerjaan dan fleksibilitas yang menjadi daya tarik utama industri ini.

Agung menyebutkan, pelaku industri telah menjalankan berbagai inisiatif untuk mendukung mitra, seperti bantuan modal usaha, beasiswa pendidikan, dan paket bahan pokok.

Kebijakan baru terkait Bantuan Hari Raya (BHR) berpotensi memaksa perusahaan melakukan penyesuaian bisnis yang dapat mengurangi program kesejahteraan jangka panjang bagi mitra.

Sektor platform digital telah memberikan akses bagi jutaan individu untuk memperoleh penghasilan alternatif dengan fleksibilitas tinggi. Model kerja ini bahkan telah berkontribusi pada 2% dari PDB Indonesia pada tahun 2022. 

"Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa setiap kebijakan yang diterbitkan tidak menghambat pertumbuhan atau membatasi manfaat yang telah diberikan kepada para mitra,” tegas Agung.

Berdasarkan data BPS, Indonesia memiliki 84,2 juta pekerja informal, dengan 41,6 juta di antaranya sebagai pekerja gig. Sekitar 1,8 juta atau 4,6 persen bekerja di layanan ride-hailing seperti ojek dan taksi online.

Regulasi yang kurang tepat dapat berdampak pada jutaan individu yang menggantungkan hidupnya pada industri ini.

Guru Besar Hukum Perburuhan Universitas Trisakti dan sebelumnya di Universitas Indonesia, Prof. Dr. Aloysius Uwiyono, menegaskan bahwa hubungan antara mitra pengemudi dan perusahaan aplikasi adalah hubungan kemitraan, bukan hubungan kerja.

Hal ini diperkuat oleh Pasal 15 Ayat (1) Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12 Tahun 2019. 

Menurutnya, mitra pengemudi tidak memenuhi unsur ketenagakerjaan seperti pekerjaan, perintah, dan upah yang diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan.

“Karena unsur-unsur ketenagakerjaan ini tidak terpenuhi, mitra pengemudi secara yuridis bukan merupakan pekerja yang berhak atas THR. Jika kebijakan ini dipaksakan, dapat memunculkan permasalahan hukum,” jelas Prof. Uwiyono.

Prof Uwiyono juga telah melakukan kajian opini berdasarkan dasar hukum ketenagakerjaan di Indonesia terkait polemik ini dalam perspektif bertajuk “Membedah Status Kemitraan dan Polemik THR bagi Mitra Pengemudi di Indonesia” (tertanggal 25 Februari 2025).

Menurutnya, regulasi yang mengarah pada pengubahan status ini bukan hanya berdampak pada industri ride-hailing, tetapi juga pada ekosistem investasi dan keberlanjutan ekonomi digital di Indonesia.

Hal senada disampaikan Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, juga menyoroti pentingnya fleksibilitas dalam industri transportasi online. 

“Jika sektor ini dipaksa menerapkan model bisnis konvensional, ada risiko besar pertumbuhan industri akan terhambat. Solusi yang diambil harus bersifat win-win, tanpa menghambat keberlanjutan sektor ini,” ujarnya.

Dialog terbuka antara pemerintah, pelaku industri, dan mitra aplikator menjadi kunci untuk menemukan solusi yang adil bagi semua pihak. Prof. Uwiyono menyarankan agar pemerintah fokus pada pengawasan untuk memastikan keseimbangan dan kepastian hukum, tanpa melakukan intervensi langsung dalam hubungan privat kemitraan.

“Dinamika pasar sebaiknya dibiarkan berkembang secara alami agar menciptakan ekosistem kemitraan yang kompetitif dan berkelanjutan. Ini akan menjadi faktor utama dalam menarik minat pelaku usaha serta investor dalam jangka panjang,” pungkasnya.

Polemik THR untuk mitra aplikator ini tidak hanya menyangkut hak pekerja, tetapi juga masa depan industri digital Indonesia yang telah menjadi tulang punggung ekonomi kreatif dan lapangan kerja bagi jutaan orang. (esy/jpnn)


Redaktur : Budianto Hutahaean
Reporter : Mesyia Muhammad

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler