jpnn.com - Belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah Indonesia merdeka. Seluruh jajaran kepolisian, mulai dari kapolri, para perwira tinggi jenderal berbintang, perwira menengah dengan melati di pundak, semua harus menghadap kepada presiden pada saat yang bersamaan.
Bukan hanya itu saja. Mereka semua dilucuti total. Tidak boleh ada ajudan. Harus memakai pakaian dinas lapangan (PDL) polos tanpa memakai topi atau penutup kepala apa pun.
BACA JUGA: Kapolri Ungkap Keterlibatan Irjen Teddy Minahasa Dalam Dugaan Kasus Narkoba
Apalagi yang ada tanda bintang atau melati. Tidak boleh membawa tongkat komando, dan tidak boleh membawa HP maupun alat elektronika lainnya.
Yang boleh hanya kertas catatan dan pulpen. Pokoknya para jenderal dan perwira itu dilucuti habis, mirip anak sekolah kena hukuman.
BACA JUGA: Jokowi Kumpulkan Pejabat Polri di Istana, Sahroni: Ini Tandanya Kondisi Sudah Urgen
Semua atribut yang selama ini menjadi simbol kekuasaan dilucuti, termasuk mobil pribadi dan voorijder.
Semua harus berkumpul jadi satu dan berangkat bareng-bareng dengan memakai bus.
BACA JUGA: Kapolri Minta Irjen Teddy Minahasa Dipecat
Semua polisi dengan pangkat bintang 2 ke bawah tidak boleh bawa mobil sendiri. Mereka diminta untuk naik bus yang telah disediakan.
Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran pun harus ikut naik dalam bus. Dia tidak bisa lagi mendapat kawalan voorijder dan mengebut melewati bahu jalan tol.
Fadil tidak bisa lagi memarahi Paspampres yang menghalangi jalannya dan menyita kartu tanda anggota Paspampres itu.
Ini bukan pertemuan biasa. Semua tampil polos, dan hanya Jokowi sendiri yang memakai badge lambang kepresidenan.
Karena tidak ada yang boleh membawa HP dipastikan tidak akan ada yang bisa selfie-selfie atau wefie sama-sama teman, atau minta foto bareng Jokowi.
Tidak akan ada yang bikin life via akun medsos, dan sudah pasti tidak ada yang melakukan joget TikTok di Istana.
Tidak boleh ada gajet atau peralatan elektronik apa pun. Hanya boleh membawa pulpen dan buku catatan.
Mungkin juga ada instruksi tidak boleh menyontek catatan teman seperti waktu masih ujian di PTIK.
Yang lupa bawa pulpen dan kertas catatan sudah pasti akan kena sanksi push up 100 kali.
Dan sudah hampir pasti besok kena mutasi menjadi staf di Yanma, bukan layanan masyarakat, tetapi layanan markas, bertugas bikin kopi dan teh dan membeli rokok.
Pemandangannya persis seperti mahasiswa yang sedang kena sanksi massal. Pemanggilan tersebut tertuang dalam Surat Telegram Rahasia (STR) yang terbit Rabu, 12 Oktober 2022 dan ditandatangani Asops Polri Irjen Agung Setya.
Namanya telegram rahasia. Akan tetapi, seperti biasa, selalu bocor ke publik dan menyebar di media sosial. Bersamaan dengan itu detail rundown pertemuan juga beredar.
Dalam surat telegram itu tertulis pemanggilan merupakan hasil rakor melalui aplikasi Zoom Rabu, 12 Oktober 2022, pukul 10.00 WIB yang dipimpin Kasetpres.
Rapat koordinasi itu terkait rencana pengarahan Presiden Jokowi kepada jajaran Kepolisian.
"Sehubungan dengan itu, bersama ini disampaikan kepada KA bahwa pada hari Jumat, 14 Oktober 2022 pukul 14.00, bertempat di Istana Negara, Jakarta Pusat Presiden akan memberikan pengarahan kepada jajaran Kepolisian." Begitu bunyi telegram itu.
Selain Kapolri, peserta yang diwajibkan hadir dalam pengarahan Presiden Jokowi adalah pejabat utama Mabes Polri, Kapolda seluruh Indonesia, dan Kapolres/kapolresta/kapolrestabes seluruh Indonesia.
Karena seluruh pati dan jenderal meninggalkan tempat maka di seluruh wilayah kepolisian di Indonesia kosong kekuasaan alias vacuum of power selama seharian.
Selama beberapa saat di seluruh wilayah hukum Indonesia tak ada seorang Kapolres dan Kapolda.
Semua Polres dan Polda untuk sesaat tak ada bos besarnya. Entah bagaimana jadinya kalau terjadi ‘’taruna’’ atau peristiwa darurat, seperti tawuran atau perampokan besar di daerah.
Pasti terjadi kebingungan dan kepanikan, karena tidak ada alat komunikasi yang bisa menghubungi para komandan. Ketahuan membawa HT pasti langsung kena mutasi.
Semua Kapolda dan Kapolres yang biasanya terlihat keren itu kini benar-benar harus tampil beda.
Bisa kita bayangkan betapa pusing mereka hari ini. Para pejabat itu, mau tidak mau pasti ada yang sudah harus berangkat kemarin.
Rasa kecewa Jokowi pada Polri kelihatannya sudah mentok. Dalam kasus Ferdy Sambo dia sudah berkali-kali meminta Kapolri untuk menyelesaikan masalah itu dengan benderang.
Alih-alih terang benderang, kasus Sambo yang sudah sampai di pengadilan malah terlihat makin gelap.
Belum selesai kasus Sambo, Polri ditimpa kasus memalukan pada tragedi Kanjuruhan.
Tercatat 132 orang meninggal dalam kerusuhan terburuk di persepakbolaan Indonesia itu. Polisi dianggap menjadi biang keladi jatuhnya korban masal itu.
Penggunaan gas air mata yang tidak sesuai prosedur dianggap sebagai penyebab utama jatuhnya korban.
Ada upaya untuk mencari kambing hitam dengan menyalahkan para suporter. Akan tetapi, hal ini bisa menjadi bumerang yang malah merugikan. Opini internasional sangat negatif terhadap Polri. Berbagai liputan internasional terang-terangan mengarahkan tudingan kepada Polri.
Kapolda Jatim Nico Afinta dicopot diganti Teddy Minahasa. Belum sempat dilantik Teddy Minahasa ditangkap Propam karena kasus narkoba di Sumatera Barat ketika dia masih menjadi kapolda di sana.
Tidak tanggung-tanggung Teddy diduga menjual barang bukti sabu-sabu seberat 5 kilogram.
Kasus ini menjadi tragedi baru di lingkungan Polri. Belum pernah ada dalam sejarah Polri seorang kapolda berbintang dua dicokok karena kasus narkoba.
Lebih tragis lagi, kapolda itu baru saja dipromosikan ke tempat baru dan belum sempat dilantik, tetapi sudah dicokok karena narkoba.
Tamparan yang sangat keras ke muka Polri. Entah bagaimana Kapolri Jenderal Listyo Sigit bisa mempertahankan kredibilitasnya kepada publik.
Entah bagaimana Jokowi akan menjustifikasi pilihannya terhadap Listyo Sigit.
Jokowi berani menantang arus dengan mengangkat kapolri pilihannya sendiri. Sekarang, yang terjadi adalah tragedi yang susul-menyusul.
Jokowi ingin menunjukkan bahwa dia ‘’in full control’’ terhadap institusi Polri. Jokowi menunjukkan bahwa dialah yang berkuasa. Karena itu, seluruh jajaran Polri harus ‘’seba’’ menghadap kepadanya, sebagaimana para hulubalang menghadap raja di istana.
Jokowi sudah mempertunjukkan kekuasaannya dengan melucuti semua jenderal itu dari berbagai atributnya. Akan tetapi, dengan kondisi Polri seperti sekarang, Jokowi sekaligus menunjukkan bahwa pada akhirnya dialah yang menjadi penanggung jawab utama semua tragedi ini. (*)
Simak! Video Pilihan Redaksi:
Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror