JAKARTA - Penyidik kepolisian terus bekerja meski ada tim lain dari TNI Angkatan Darat yang juga ikut mengusut kasus penyerangan lapas Cebongan. Dalam satu dua hari ke depan, sketsa wajah pelaku sudah jadi.
"Nanti akan disebarkan ke polsek-polsek di Jogja, juga Polda yang lain," ujar Kabiropenmas Mabes Polri Brigjen Boy Rafli Amar, Minggu (31/03).
Sketsa itu didapatkan dari keterangan saksi-saksi yang melihat wajah pelaku tanpa cadar. "Sudah ada keterangan signifikan," kata mantan Kapolres Pasuruan Jawa Timur itu.
Para pelaku memang tak langsung memakai cadar. Saat mengetuk pertama pintu Lapas, dua orang yang mengaku dari Polda DIJ menunjukkan surat bon tahanan. Setelah ditolak, mereka baru masuk dengan paksa dan memakai cadar.
Boy menjelaskan, tim Polri tetap bekerja meskipun ada tim dari TNI-AD. "Saat ini penyidikan dari kepolisian masih berlangsung berdasarkan olah TKP dan fakta fakta di lapangan," kata mantan Kapoltabes Padang itu.
Jenderal bintang satu itu menjelaskan, Polri berkoordinasi dengan penyidik TNI setiap saat. "Kita selalu berkomunikasi dengan baik," kata Boy.
Secara terpisah, pengamat intelejen Soeripto menilai penyerangan sekelompok orang tidak dikenal yang membantai tewas empat tahanan titipan polisi di Lapas Cebongan, Sleman Jogjakarta (23/3), wajar jika cenderung diduga banyak pihak sebagai aksi balas dendam. Soeripto yang juga mantan satuan khusus era Kabakin Jenderal Yoga Sugama ini berpendapat, kasus pembantaian Cebongan itu tidak akan terjadi jika pimpinan tertinggi daerah mengetahui pergerakan prajurit, sehingga tidak akan muncul modus pergerakan pasukan secara liar.
"Komando ini yang sekarang terhambat," katanya dalam sebuah diskusi di Jakarta kemarin.
Soeripto yang juga aktif sebagai Ketua Majelis Pakar DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini juga menilai wajar pernyataan Pangdam IV/Diponegoro Mayjen Hardiono Saroso, yang informasinya ternyata kemudian terbantahkan oleh statemen KSAD Jenderal TNI Pramono Edhie Wibowo. "Ada kesenjangan antara pamen dan jenderal, Satu sama lain saling berseberangan. Padahal, para pamen itu lebih tahu di lapangan," kata Soeripto.
Soeripto mengistilahkan ada garis komando dari atas ke bawah, yang tampak terganggu. Artinya, informasi yang diterima seorang jenderal terkadang tidak lengkap dari bawah.
Padahal jika info dan data itu lengkap dipasok dari bawah, tutur Soeripto, maka tidak akan ada silang pendapat di dalam tubuh internal TNI AD. Gangguan dalam line of command kini menggejala luas di tubuh setiap kesatuan, dari TNI AD, AL, AU maupun Polri.
Gangguan rantai komando itu, berdasarkan data yang diterima Soeripto, akibat langsung dari kemacetan jenjang karier. Banyak perwira menengah, dari letnan kolonel hingga kolonel (AKBP dan Kombes) frustasi, tidak bisa promosi jabatan menjadi jendral karena tidak punya koneksi keluarga atau tidak punya uang untuk menyuap.
Itu berakibat muncul kesenjangan hubungan di antara para pamen dengan para jenderalnya. "Ini yang harus dievaluasi segera oleh pimpinan TNI maupun Polri," kata pendiri Lembaga Studi Pertahanan dan Strategi Indonesia ini. (rdl/nw)
"Nanti akan disebarkan ke polsek-polsek di Jogja, juga Polda yang lain," ujar Kabiropenmas Mabes Polri Brigjen Boy Rafli Amar, Minggu (31/03).
Sketsa itu didapatkan dari keterangan saksi-saksi yang melihat wajah pelaku tanpa cadar. "Sudah ada keterangan signifikan," kata mantan Kapolres Pasuruan Jawa Timur itu.
Para pelaku memang tak langsung memakai cadar. Saat mengetuk pertama pintu Lapas, dua orang yang mengaku dari Polda DIJ menunjukkan surat bon tahanan. Setelah ditolak, mereka baru masuk dengan paksa dan memakai cadar.
Boy menjelaskan, tim Polri tetap bekerja meskipun ada tim dari TNI-AD. "Saat ini penyidikan dari kepolisian masih berlangsung berdasarkan olah TKP dan fakta fakta di lapangan," kata mantan Kapoltabes Padang itu.
Jenderal bintang satu itu menjelaskan, Polri berkoordinasi dengan penyidik TNI setiap saat. "Kita selalu berkomunikasi dengan baik," kata Boy.
Secara terpisah, pengamat intelejen Soeripto menilai penyerangan sekelompok orang tidak dikenal yang membantai tewas empat tahanan titipan polisi di Lapas Cebongan, Sleman Jogjakarta (23/3), wajar jika cenderung diduga banyak pihak sebagai aksi balas dendam. Soeripto yang juga mantan satuan khusus era Kabakin Jenderal Yoga Sugama ini berpendapat, kasus pembantaian Cebongan itu tidak akan terjadi jika pimpinan tertinggi daerah mengetahui pergerakan prajurit, sehingga tidak akan muncul modus pergerakan pasukan secara liar.
"Komando ini yang sekarang terhambat," katanya dalam sebuah diskusi di Jakarta kemarin.
Soeripto yang juga aktif sebagai Ketua Majelis Pakar DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini juga menilai wajar pernyataan Pangdam IV/Diponegoro Mayjen Hardiono Saroso, yang informasinya ternyata kemudian terbantahkan oleh statemen KSAD Jenderal TNI Pramono Edhie Wibowo. "Ada kesenjangan antara pamen dan jenderal, Satu sama lain saling berseberangan. Padahal, para pamen itu lebih tahu di lapangan," kata Soeripto.
Soeripto mengistilahkan ada garis komando dari atas ke bawah, yang tampak terganggu. Artinya, informasi yang diterima seorang jenderal terkadang tidak lengkap dari bawah.
Padahal jika info dan data itu lengkap dipasok dari bawah, tutur Soeripto, maka tidak akan ada silang pendapat di dalam tubuh internal TNI AD. Gangguan dalam line of command kini menggejala luas di tubuh setiap kesatuan, dari TNI AD, AL, AU maupun Polri.
Gangguan rantai komando itu, berdasarkan data yang diterima Soeripto, akibat langsung dari kemacetan jenjang karier. Banyak perwira menengah, dari letnan kolonel hingga kolonel (AKBP dan Kombes) frustasi, tidak bisa promosi jabatan menjadi jendral karena tidak punya koneksi keluarga atau tidak punya uang untuk menyuap.
Itu berakibat muncul kesenjangan hubungan di antara para pamen dengan para jenderalnya. "Ini yang harus dievaluasi segera oleh pimpinan TNI maupun Polri," kata pendiri Lembaga Studi Pertahanan dan Strategi Indonesia ini. (rdl/nw)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Wantimpres Tak Boleh Rangkap Jabatan, Apalagi Presiden
Redaktur : Tim Redaksi