Polisi tak Perlu Kenakan Rompi Anti-Peluru

Jumat, 13 September 2013 – 15:12 WIB
Prof.DR.Adrianus Meliala. Foto: dok.JPNN

jpnn.com - AKSI penembakan terhadap aparat kepolisian kian mengkhawatirkan. Dalam tiga bulan terakhir tercatat lima nyawa aparat melayang sia-sia, saat bertugas di lapangan.

Apakah perbuatan tersebut dilakukan kelompok teroris tertentu, atau ada kelompok lain dengan motif berbeda. Semisal persaingan bisnis jasa pengamanan. Dugaan ini juga muncul dalam kasus penembakan terdahadap Bripka Sukardi, di depan gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jalan HR Rasuna Said, Jakarta, Selasa (10/9) malam.

BACA JUGA: Di Tangan Anak, Mobil jadi Barang Mematikan

Namun, menurut Guru Besar Kriminologi Universitas Indonesia, Prof.DR.Adrianus Meliala, apa pun motifnya, penembakan itu adalah sebuah teror.

Berikut petikan wawancara wartawan JPNN, Ken Girsang dengan pria yang juga komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) tersebut, Jumat (13/9).

BACA JUGA: Kebocoran Soal Tes CPNS Biasanya Melibatkan Kepala Daerah

Menurut anda siapa pelaku penembakan terhadap aparat kepolisian?

Yang jelas saya melihat ini perbuatan teroris. Karena akibat yang ditimbulkannya benar-benar telah menebar teror terhadap aparat kepolisian yang bertugas.

BACA JUGA: Saya di Tengah Ratusan Penjahat Migas

Apakah ada kemungkinan dilakukan karena persaingan bisnis pengamanan?

Kalau pandangan itu saya kurang setuju. Tapi kita bisa melihat ada tiga ciri utama dari mana para pelaku berasal. Yaitu pelaku merupakan orang yang sangat membenci polisi. Itu terlihat karena target operasi mereka hanya mengarah pada petugas kepolisian. Untuk hal ini polisi menurut saya dapat melihat rekam jejak yang ada. Ciri kedua, pelaku memiliki akses terhadap kepemilikan senjata api. Hal ini sangat jelas karena dalam setiap aksinya, para pelaku menggunakan senjata api dan itu sangat mematikan. Ciri ketiga, mereka sangat terlatih. Pelaku dapat menewaskan target sasaran hanya dalam beberapa kali tembakan di bagian-bagian tubuh yang sangat vital.

Kira-kira kelompok mana yang memiliki ketiga unsur elemen tersebut?

Bisa dari kelompok mana saja. Tapi kalau melihat jauh ke belakang, kelompok-kelompok radikal yang kemungkinan paling membenci polisi. Mereka menilai polisi-lah yang selama ini menghalangi mereka melancarkan aksi-aksinya. Mereka tidak melihat kepolisian itu sebagai sebuah instalasi negara. Mereka hanya melihat tindakan kepolisian terhadap mereka perlu dilawan. Jadi semacam situasi di mana unsur balas dendam.

Kalau tujuan demikian, kenapa korbannya justru polisi berpangkat rendah?

Justru itu, yang gampang ditemui kan polisi berpangkat bintara yang bertugas di lapangan. Kalau pangkat perwira mungkin sudah menggunakan mobil atau memiliki pengawal. Sementara kalau bintara kan gampang dikenali misalnya dari seragamnya. Kalau perwira juga mungkin banyak juga yang menggunakan pakaian biasa. Intinya mereka memang  ingin menciptakan teror dan shock therapy.

Almarhum Bripka Sukardi ditembak di depan gedung KPK, apakah memerlihatkan pelaku semakin nekad?

Kalau menurut saya hanya kita yang menyebut mereka nekad. Aksi kemarin justru memerlihatkan adanya kemampuan luarbiasa. Mereka sangat terlatih dan penuh perhitungan. Karena semua operasi mereka berhasil dan mereka dapat lolos dari kejaran polisi.

Apa yang harus dilakukan kepolisian menghadapi kondisi ini?

Perlu ada dua strategi. Yaitu terbuka dan tertutup. Untuk strategi terbuka, polisi perlu meningkatkan razia di jalanan dan meningkatkan kewaspadaan. Atau merazia tempat-tempat yang diduga di mana senjata-senjata api rakitan di buat. Kemungkinan lain, senjata yang digunakan bisa saja bukan rakitan. Nah untuk itu polisi menurut saya perlu melakukan operasi khusus. Langkah-langkah ini muaranya untuk mengungkap siapa pelaku maupun dalang di balik aksi-aksi teror. Karena itu dalam melakukan operasi, polisi perlu mengacu pada tiga hal yang tadi saya sebutkan. Yaitu kemungkinan pelaku benci polisi, terlatih dan punya akses kepada senjata api.

Perlu melibatkan TNI?

Tindakan pelibatan menurut saya memang bagus. Tapi TNI kan tidak punya database terkait modus maupun dugaan-dugaan di balik aksi para pelaku. Jadi ini sebenarnya lebih terkait soal knowledge terhadap kasus tersebut dan yang memiliki itu polisi. Kalau soal kemampuan tempur misalnya, Densus 88 atau Brimob juga kan punya. Jadi cukuplah dengan melibatkan mereka.

Menurut anda perlukah polisi menggunakan rompi anti-peluru setiap saat?

Itu biayanya terlalu mahal. Lagi pula penggunaan rompi anti peluru akan sangat merepotkan dan tidak ada gunanya. Penggunaan rompi anti peluru akan menyulitkan pergerakan petugas di lapangan. Kecuali memang dalam operasi-operasi khusus, tentu diperlukan untuk pengamanan. Yang penting pengejarannya diintensifkan terus. Jangan berhenti sebelum terungkap. Polisi perlu all out menghadapi kondisi ini.

Ada kemungkinan tindakan pelaku meluas ke masyarakat?

Saya pikir wajar masyarakat menjadi khawatir. Tapi menurut saya ketakutan kita tidak usah terlalu berlebihan. Misalnya menjadi tidak berani keluar malam, atau dikecam perasaan waswas setiap saat. Intinya masyarakat cukup meningkatkan kewaspadaan. Karena aksi kejahatan dapat terjadi di mana saja.***

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Soal Tes CPNS Berpotensi Bocor


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler