jpnn.com, JAKARTA - Polisi menetapkan mahasiswa Universitas Indonesia (UI) Muhammad Hasya Atallah Syaputra yang tewas karena kecelakaan menjadi tersangka.
Sebab, polisi menyebut Hasya meninggal dunia akibat kecelakaan di Jagakarta, Jakarta Selatan karena kelalaiannya sendiri.
BACA JUGA: Kesaksian Bharada E soal Ferdy Sambo Menjanjikan SP3 setelah Menghabisi Brigadir J
Pengamat transportasi Ki Darmaningtyas mengatakan penetapan tersangka oleh polisi terhadap korban itu logis.
"Berdasarkan yang saya baca dari kronologi dan kesaksian para saksi, persoalan itu terjadi pada pengendara sepeda motor, yang mengendarai motor dengan kencang, dan mungkin knalpotnya diubah. Kalau melihat kronologi yang ada, saya kira penetapan tersangka itu logis," kata Darmaningtyas kepada wartawan, Sabtu (28/1).
BACA JUGA: IPW Dukung Audit Investigasi Semua SP3 yang Diterbitkan Bareskrim
Darmaningtyas mengatakan korban tidak selalu benar. Kebanyakan yang terjadi, kecelakaan sepeda motor itu terjadi karena kelalaian pengendara, ada yang melawan arus dan ada yang zig-zag.
"Kalau kita melihat kasus yang di Srengseng Sawah ini, itu kan motor jatuh duluan, baru tertabrak mobil. Pada situasi tertentu pengendara mobil bisa benar. Kalau yang terjadi mobilnya ngebut dan menyerempet motor dan jatuh, itu baru mobil yang salah," katanya.
BACA JUGA: Klaim Demokrasi Terancam, Puluhan Ribu Warga Spanyol Berdemonstrasi di Akhir Pekan
Namun, dalam kasus ini, motornya melaju dengan kencang, mengerem mendadak dan pengendara jatuh terpelanting dan terkena mobil.
"Keduanya saya tidak kenal, baik korban maupun saksi pengendara mobil. Komentar saya berdasarkan pertimbangan rasionalitas," ujarnya.
Terkait pertanyaan korban yang sudah meninggal ditetapkan sebagai tersangka, menurut Darmaningtyas tidak menjadi masalah. Karena ketika korban yang ditetapkan tersangka itu meninggal, maka penyidikan berakhir.
"Pertanyaannya, kenapa kok ditetapkan tersangka? Dengan ditetapkan menjadi tersangka, dan korban meninggal berarti penyidikan berakhir secara otomatis," jelasnya.
Darmaningtyas juga mendukung saran dari kepolisian agar pihak keluarga korban kalau tidak merasa puas bisa menempuh langkah hukum praperadilan.
"Saya mendukung langkah praperadilan tersebut untuk membuktikan apakah mobil atau motor yang salah," ungkapnya.
Dalam UU Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), tidak selalu penabrak menjadi tersangka. Harus dilihat sebab-akibat. Seperti melihat posisi kejadian, merunut peristiwa, serta mencari keterangan saksi mata.
Dilihat posisinya antara pelaku atau korban, kalau memang salah korban bisa ditetapkan sebagai tersangka. Lantaran tersangka telah meninggal dunia, perkara ini memang wajib dihentikan atau diterbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) oleh kepolisian.
Menurut pakar hukum pidana dari Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, Prof Marcus Priyo Gunarto, masalah tidak dipidananya pengendara mobil adalah masalah lain, karena harus mendasarkan pada kesalahan, yaitu kepatutan pengendara mobil saat kejadian.
Dia menjabarkan apakah pengendara mobil sudah berhati-hati dalam mengendarai kendaraan dalam kondisi hujan, jalan licin, jika gelap apakah lampu mobil memberi penerangan yang cukup, kecepatan wajar dan fungsi rem berjalan baik.
"Kalau keadaan ini terpenuhi, maka pengendara mobil tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, karena tidak ada unsur kesalahan", ujarnya
Menurutnya, SP3 yang diterbitkan Ditlantas Polda Metro Jaya terhadap pengemudi mobil karena tidak cukup bukti sebetulnya tidak masalah.
"Tujuan SP3 memberikan kepastian hukum," tegas Prof Marcus.(mcr10/jpnn)
Redaktur & Reporter : Elvi Robiatul