jpnn.com, BALIKPAPAN - Pengamat politik dan hukum dari Universitas Balikpapan (Uniba) Piatur Pangaribuan menyebut, dalam politik uang, antara pemberi dan penerima sama-sama diuntungkan.
Kondisi ini yang membuat praktik kotor itu jarang terungkap ke publik dan berlanjut di ranah hukum. Meski dilakukan secara terang-terangan. “Sama-sama saling memanfaatkan,” kata Piatur.
BACA JUGA: Pesan Pak Sabam: Jangan Golput, Banggalah Jadi Orang Indonesia
Rektor Uniba yang juga terdaftar sebagai calon DPD RI itu pesimistis politik uang akan hilang. Bahkan akan semakin ramai jelang hari pencoblosan. Ini akibat kondisi perekonomian masyarakat khususnya Kaltim banyak yang berada di bawah garis kemiskinan.
“Pendidikan rendah dan pendapatan masyarakat masih pas-pasan. Jadi demi Rp 100 ribu, beras 2 kilogram dan gula saja, mereka terima,” kata Piatur.
BACA JUGA: Siapkan Judicial Reiview Larangan Penayangan Quick Count
BACA JUGA: Ma'ruf Amin Temukan Cara Atasi Pembatasan Waktu Bicara di Debat Cawapres
Warga juga tak akan mau repot berurusan dengan aparat hukum hanya karena nominal uang yang kecil. Jadi Bawaslu dalam hal ini mengandalkan diri sendiri. Melalui pengawasnya memilih metode operasi tangkap tangan (OTT).
BACA JUGA: Bawa Pesan Bu Mega, Hasto Semangati Kader PDIP Jatim demi Jokowi-Maruf
Meningkatkan peluang pengungkapan pelanggaran politik uang. “Kan teknologi semakin canggih. Bukti video atau foto hingga rekaman masa tak cukup membuktikan. Saksi bisa dari pihak mereka (pengawas),” ucapnya.
Secara legal formal, Piatur mengakui keandalan sumber daya Bawaslu. Sebab, yang duduk memiliki latar belakang pendidikan dan pengalaman di bidang hukum. Tapi memang, perlu diperkuat dengan dukungan berbagai pihak.
Terutama dari mereka yang menyebut dirinya bersih dan gerah dengan adanya praktik politik uang. “Dasar dan prosedurnya sudah kuat. Tapi output-nya masih lemah. Ini harus diperbaiki,” katanya.
Politik uang secara luas disebut menjadi bagian dari teori konspirasi. Dalam kondisi tertentu diakui sebagai fakta. Namun, karena perlu dibuktikan, membuatnya sering hanya muncul sebagai isu semata. “Ada tapi tak bisa ditunjukkan,” imbuhnya.
Ada tiga faktor yang selama ini digunakan calon legislatif (caleg) untuk meraih suara. Yakni pandangan objektif dari calon pemilih dan kedekatan secara emosional. Jika dua faktor ini tak ditemukan dari seorang caleg untuk bisa mendongkrak suaranya, muncul praktik transaksional. “Yang transaksional ini yang mencemari dan berbahaya,” katanya.
Mudah membuktikan proses pemilu telah tercemar dengan praktik transaksional atau jual beli suara ini. Piatur menyebut, setelah pemilu akan muncul wakil rakyat yang sebelumnya jarang muncul di daerah pemilihannya namun bisa duduk di kursi legislatif.
“Kok bisa. Tak pernah muncul di publik, tak dikenal sosoknya secara luas, tiba-tiba jadi anggota dewan,” katanya.
Sejak awal dia melihat ada kekurangan dalam proses penyelenggaraan pemilu. Komisi Pemilihan Umum (KPU) misalnya, sejak awal seharusnya bisa transparan soal kredibilitas dan kapabilitas caleg. Memberikan informasi terbuka kepada calon pemilih siapa calon-calon wakil rakyat yang bertarung di Pemilu 2019.
“Calon pemilih dengan sendirinya bisa menentukan sikap. Karena dia tahu siapa yang datang berkampanye. Punya kemampuan apa. Dan apakah mampu menjadi wakil mereka di gedung dewan,” bebernya.
BACA JUGA: Kasus Romahurmuziy Diprediksi Bikin Tim Jokowi Kehilangan Fokus
Sementara itu, Koordinator Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) Bawaslu Balikpapan Wamustofa Hamzah mengatakan, pihaknya tetap mengandalkan laporan masyarakat untuk bisa menindaklanjuti indikasi politik uang. Selain sebagai bentuk partisipasi demi pemilu yang bersih dan jujur, juga wujud kepedulian dalam pemberantasan politik uang.
Dia mengakui, dalam prosesnya, setiap laporan pelanggaran pemilu dibatasi oleh waktu. Misal, laporan harus dilakukan maksimal tujuh hari setelah ditemukan indikasi pelanggaran. Jika melewati, pihaknya tak bisa memprosesnya. Selain itu, laporan harus dilakukan oleh pihak yang menyaksikan langsung.
“Ada barang buktinya, namun begitu si penerima dikonfrontasi, mereka enggan menjadi saksi,” kata Topan, sapaan akrabnya.
Pihaknya belum bisa menyimpulkan soal keengganan ini. Apakah akibat si penerima khawatir mendapatkan intimidasi atau karena hanya faktor tak ingin repot berurusan dengan hukum. Padahal ada program perlindungan saksi dan korban pelanggaran pemilu yang disediakan Bawaslu. “Jelas dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2017, hanya pemberi yang bisa dijerat sanksi pidana money politic,” tegasnya. (*/drh/rdh/k16)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Partisipasi Masyarakat pada Pemilu Bentuk Perbaikan Demokrasi
Redaktur & Reporter : Soetomo