Politikus Gerindra Desak Segera Audit Data Pupuk Bersubsidi

Jumat, 14 Desember 2018 – 15:22 WIB
Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra H Nurzahedi. Foto: Fraksi Geridra

jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi VI DPR RI H Nurzahedi mendesak agar pihak berwenang turun tangan melakukan audit ke PT Pupuk Indonesia. Ini berkaitan dengan tidak sinkronnya data soal produksi padi di Kementerian Pertanian dan BPS.

Politikus Partai Gerindra ini mengungkap ada perbedaan data antara Kementan dan data BPS soal produksi padi tahun 2018. Kementan mengklaim produksi padi pada 2018 mencapai kisaran 80 juta ton. Sementara itu, dari metode penghitungan kerangka sampel area, BPS melansir produksi padi hanya 56,54 juta ton di periode yang sama.

BACA JUGA: RI Bisa Desak PBB Tetapkan OPM Sebagai Organisasi Teroris

“Kenapa ada perbedaan data antara Kementan dan BPS ini? Kan harus ada audit. Apakah metode penghitungan yang berbeda? Atau permasalahannya di mana. Publik harus tahu ini,” ujar Nurzahedi dalam siaran persnya, Jumat (14/12).

Menurutnya, audit penting dilakukan ke PT Pupuk Indonesia karena berkaitan erat dengan penganggaran pupuk subsidi dalam negeri. Politikus Gerindra yang berasal dari Dapil Riau II ini mengungkap subsidi pupuk di tahun 2018 mencapai Rp 28,5 triliun. Lalu pada 2019, subsidi pupuk ditingkatkan menjadi Rp 29,5 triliun. Tapi outputnya, tambah pria yang akrab disapa Eddy Tanjung ini malah menunjukkan produksi padi yang tidak sinkron antara BPS dan Kementan. Dengan kata lain, data yang mana yang digunakan untuk menentukan subsidi pupuk yang digunakan dan dalam posisi ini, vendornya adalah PT Pupuk Indonesia.

BACA JUGA: Bamsoet: Perlu Mempertimbangkan Penerbitan PP OMSP di Papua

“Jangan sampai metode penghitungan dijadikan cara untuk bermain-main anggaran pupuk subsidi. Karena itu kami desak agar pihak berwenang lebih aktif soal ini,” cetusnya.

Seperti diketahui, PT Pupuk Indonesia mengklaim hingga akhir Desember 2018 ini sudah mendistribusikan 8.345.804 ton pupuk Subsidi atau sekitar 88 persen dari target yang dicanangkan pemerintah. Terlepas dari angka penyaluran pupuk subsidi diatas 80 persen, dirasa perlu agar pihak berwenang melakukan audit, karena faktanya ada data yang tidak sama antara Kementan dengan BPS produksi padi tahun 2018.

Masih diterangkan H Nurzahedi pada awal 2017 lalu, ada Laporan Hasil Kajian Kebijakan Subsidi di Bidang Pertanian yang terbit pada awal Maret. Komisi Pemberantasan Korupsi menemukan kerawanan korupsi di program subsidi di antaranya adalah perencanaan alokasi pupuk dan benih bersubsidi, mekanisme penetapan Harga Pokok Penjualan (HPP) dan pengawasan yang tak maksimal.

BACA JUGA: Fahri Hamzah Setuju DPR Bentuk Pansus Tercecernya e-KTP

Kajian itu menyatakan mekanisme penetapan HPP dapat membuka celah transaksional. Selama ini, HPP terbagi menjadi dua yakni HPP awal oleh Kementerian Pertanian dan HPP yang telah diaudit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

“KPK menyebut peluang transaksional kental muncul saat proses penilaian riil HPP, terutama saat menentukan komponen biaya produksi yang layak masuk sebagai penyusun HPP. Ini yang harus diperdalam,” ujarnya.

Celah korupsi, berdasarkan dari hasil kajian tersebut, semakin terbuka karena aturan yang digunakan dalam mengevaluasi komponen HPP pupuk bersubsidi relatif umum dan multitafsir.

Masih menurut kajian tersebut, dibeberkan perbandingan HPP antara pemerintah dengan BPK. Salah satu contohnya adalah PT Pupuk Indonesia Holding Company (PIHC).

Perusahaan itu mengendalikan PT Pupuk Kalimantan Timur (PKT), PT Pupuk Sriwijaya (Pusri) Palembang, PT Petrokimia Gresik, PT Pupuk Kujang, PT Pupuk Iskandar Muda (PIM).

HPP awal Pusri Palembang untuk pupuk area sepanjang 2013-2015, misalnya, memiliki harga yang berbeda per tonnya dengan HPP hasil audit. Ini terdiri dari Rp2,60 juta/ton (HPP awal) dengan Rp3,48 juta/ton (HPP audit); Rp2,79 juta/ton (HPP awal) dengan Rp4,27 juta/ton (HPP audit); serta Rp4,18 juta/ton (HPP awal) dengan Rp4,93 juta/ton (HPP audit).

Selain itu, KPK juga menemukan gap antara perencanaan dengan anggaran yang dialokasikan sehingga menimbulkan pelbagai masalah turunan. Hal itu juga menimbulkan isu kelangkaan pupuk bersubsidi.

Salah satunya adalah nilai pupuk usulan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) Kementerian Pertanian yang berbeda di tingkat usulan dan alokasi. Dalam kajian itu disebutkan hal itu terjadi sepanjang 2014-2016 yakni Rp36,06 triliun (usulan) dengan Rp21,04 triliun (alokasi); Rp43,75 triliun (usulan) dengan Rp35,70 triliun (alokasi); dan Rp63,07 triliun (usulan) dengan Rp30,06 triliun (alokasi).

“Harapan kami, ini permasalahan pupuk harus benar-benar di selesaikan. Jangan setiap tahun bermasalah terus di pupuk subsidi dan petani kita terus jadi korban,” terang Nurzahedi.(jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Fahri Hamzah: Ternyata Sidang Parlemen Prancis Juga Gaduh


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler