Politikus Gerindra Terus Persoalkan Akuisisi Saham Freeport

Senin, 24 Desember 2018 – 23:29 WIB
Gus Irawan Pasaribu. Foto: dok.JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Politikus Partai Gerindra terus melontarkan kritik atas langkah pemerintah melalui PT Inalum mengakuisisi 51 persen saham PT Freeport Indonesia (PTFI). Kali ini ada Gus Irawan Pasaribu yang menyebut akuisisi itu telah melanggar aturan.

Gus Irawan mengatakan, seharusnya pemerintah mematuhi kesepakatan dengan Komisi VII DPR, PT Inalum dan Freeport mengenai kewajiban yang harus dipenuhi sebelum melakukan pembayaran atas divestasi saham senilai USD 3,85 miliar. Bahkan, Gus Irawan selaku ketua Komisi VII DPR yang membidangi pertambangan dan energi ikut meneken kesempulan rapat tentang kesepakatan dengan pemeringah, Inalum dan Freeport.

BACA JUGA: Aneh, Baru Belakangan Si Rajawali Ngepret Ributkan Freeport

"Transaksi Freeport ini gagah-gagahan saja kelihatannya. Karena ini sudah melanggar kesepakatan, kesimpulan rapat yang diteken oleh pimpinan rapat oleh saya sendiri dengan Dirjen Minerba, Dirut Freeport Tony Wenas sama Dirut Inalum (Budi Gunadi Sadikin, red),” kata Gus Irawan kepada JPNN, Senin (24/12).

Gus Irawan memerinci, dalam kesimpulan rapat Komisi VII DPR soal Freeport terdapat poin tentang kesepakatan mengenai divestasi yang baru bisa dilakukan setelah masalah lingkungannya diselesaikan. Namun, legislator asal Sumatera Utara itu menduga persoalan lingkungan di kawasan tambang Freeport di Papua.

BACA JUGA: Freeport

"Apa betul kemudian lingkungan yang terkorbankan ekosistem yang senilai Rp 185 triliun itu sudah diselesaikan (oleh Freeport)? Saya tidak yakin bahwa itu selesai," tegasnya.

Gus Irawan menegaskan, divestasi saham PTFI sehingga Indonesia memiliki 51,23 persen saham di anak perusahaan Freeport-McMoRan setelah membayar USD 3,85 miliar atau setara Rp 56,1 triliun tidak seharusnya terjadi. Sebab, lontrak karya raksasa tambang asal Amerika Serikat itu akan berakhir pada 2021.

BACA JUGA: Freeport Siapkan USD 20 Miliar untuk Investasi di Indonesia

"Dalam pandangan saya, kita tunggu saja kontrak karyanya berakhir, setelah itu kita salaman baik-baik, kalau perlu cipika-cipiki, kontrak tidak diperpanjang. Kalau kontrak berakhir kan kembali ke kita tanpa harus mengeluarkan uang yang ternyata global bond USD 3,85 miliar dollar," tuturnya.

Selain itu, kata Gus, ada banyak pertanyaan lain yang muncul di tengah masyarakat. Di antaranya kenapa divestasi saham itu dipaksanakan menjelang masa kontrak karya berakhir pada 2021.

Apalagi, yang dibeli itu ternyata bukan sahamnya PTFI. "Tiba-tiba yang dibeli itu participating interest-nya Rio Tinto, lalu itu dikonversi jadi saham. Jadi enggak ada lho sama sekali saham Freeport McMoran itu yang dibeli. Sama  kemudian sahamnya Indocopper," jelas Gus Irawan.

Lebih lanjut Gus mengkritisi kepemilikan 10 persen saham PTFI oleh PT Papua Indonesia Metal dan Mineral sebagai bentuk participating interest rakyat dan pemerintah daerah di Papua. Padahal, katanya, faktanya mayoritas saham BUMD itu juga dimiliki PT Inalum. 

"Katanya untuk pemerintah dan rakyat Papua itu sepuluh persen, di sisi lain yang mewakili Papua itu BUMD yang sahamnya 60 persen dimiliki Inalum, sisanya Papua. Itu kontraproduktif," tambah dia.(fat/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Gerindra Kritik Jokowi Soal Program PKH


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler