Politikus Hanura Ungkap Tiga Pasal Siluman di UU Pilkada

Jumat, 24 April 2015 – 16:35 WIB

jpnn.com - JAKARTA - Anggota Komisi II DPR, Frans Agung MP Natamenggala menyebut ada tiga pasal siluman di UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan UU Nomor 1 Tahun 2015 yang mengatur tentang pilkada langsung.

UU Nomor 1 Tahun 2015 sebelumnya merupakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014 yang setelah mendapat persetujuan DPR disahkan menjadi UU.

BACA JUGA: Kapolri Baru Harus Tuntaskan Pemukulan Perwira di Bengkel Cafe

"Namun, UU ini menjadi cacat ketika muncul pasal yang sebelumnya tidak ada dalam UU atau pasal yang sudah dibahas dan disahkan di paripurna DPR, pada 17 Februari 2015," kata Frans Agung MP Natamenggala, di Jakarta, Jumat (24/4).

Pertama ujar, Pasal 42 Ayat 7 UU Nomor 1 Tahun 2015 yang disetujui DPR menyebutkan, "Pendaftaran calon gubernur dan calon wakil gubernur, pasangan calon bupati dan calon wakil bupati, serta pasangan calon walikota dan calon wakil walikota selain pendaftarannya ditandatangani oleh ketua dan sekretaris partai politik, jugà harus disertai surat persetujuan dari pengurus partai politik tingkat pusat."

BACA JUGA: Soal Reshuffle, Delapan Menteri Ini Disorot

"Pasal ini, hilang atau tidak ada dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015," tegas anggota DPR dari daerah pemilihan Provinsi Lampung I ini.

Kedua, lanjutnya, Pasal 87 Ayat 4 UU Nomor 1 Tahun 2015 berbunyi, "Jumlah surat suara di TPS sama dengan jumlah pemilih yang tercantum di dalam DPT dan daftar pemilih tambahan ditàmbah dengan 2,5 persen dari daftar pemilih tetap sebagai surat suara cadangan."

BACA JUGA: Ini Komentar Mahasiswi yang Bermesraan di Gedung KPK

"Pasal ini tidak pernah dibahas dan disetujui dalam paripurna DPR dan perubahan UU Nomor 1 Tahun 2015. Tapi pasal tersebut  justru muncul dalam UU Nomor 8 Tahun 2015," katanya.

Ketiga, Pasal 71 Ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 2015 mengatakan, "Pengisian jabatan hanya dapat dilakukan untuk mengisi kekosongan jabatan."

Menurut politikus Partai Hanura ini, penjelasan pasal tersebut tidak pernah dibahas dan disetujui dalam paripurna DPR dalam perubahan UU Nomor 1 Tahun 2015.

Tetapi penjelasan Pasal 71 Ayat 2, UU Nomor 8 Tahun 2015 yang berbunyi, "dalam hal terjadi kekosongan jabatan, maka gubernur, bupati dan walikota menunjuk pejabat pelaksana tugas."

Sebagai wakil rakyat, di menyesalkan hal tersebut terjadi karena cacat secara hukum. "Terjadi ketidakjelian pemerintah dan DPR terhadap pasal-pasal yang tidak dibahas lalu muncul di dalam undang-undang.

Menurut Frans, kejadian ini merusak sistem ketatanegaraan kita. "Ini harus diusut agar tidak merembet nantinya ke undang-undang yang lainnya," harap Frans.(fas/jpnn)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Bermesraan di KPK, Dua Sejoli Diperiksa Petugas


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler