Politikus PDIP Arteria Dahlan Ingatkan KPK Setop Mendikte Presiden

Jumat, 13 Desember 2019 – 10:58 WIB
Politikus PDIP sekaligus Anggota Komisi III DPR, Arteria Dahlan (kedua kiri) saat diskusi bertajuk "Prospek Pemberantasan Korupsi Pasca Revis UU KPK” di Jakarta, Rabu (11/12). Foto: Dok. JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Poliitkus PDI Perjuangan yang juga Anggota Komisi III DPR RI, Arteria Dahlan mengingatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ticak boleh mendikte Presiden. Sebab, KPK merupakan bagian dari eksekutif.

Arteria menjelaskan hal tersebut merupakan konsekuensi dari perubahan UU Nomor 30 Tahun 2002 menjadi UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.

BACA JUGA: Petrus Selestinus: Ini Jadi Momentum Bagi Firli Bahuri Cs Membuat KPK Tampil Makin Digdaya

UU KPK hasil revisi telah menempatkan KPK sebagai lembaga negara penegak hukum pembantu presiden di bidang korupsi. Menurut dia, salah satu tujuan DPR dan pemerintah melakukan revisi UU KPK agar memberikan kepastian terkait status KPK.

“KPK ini alat negara, lembaga negara penegak hukum pembantu presiden di bidang korupsi. Jadi, tidak boleh mendikte presiden," tegas Arteria saat diskusi bertajuk "Prospek Pemberantasan Korupsi Pasca Revis UU KPK” di Jakarta, Rabu (11/12).

BACA JUGA: Bang Neta Minta Jokowi Segera Terbitkan Aturan Turunan UU KPK yang Baru

Selain Arteria Dahlan, pembicara lain dalam diskusi yang diselenggarakan Forum Lintas Hukum Indonesia adalah mantan Komisioner KPKPN sekaligus Advokat Peradi Petrus Selestinus, Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S pane dan Mantan Direktur Tindak Pidana Korupsi Kejaksaan Agung Chairul Imam.

Menurut Arteria, kinerja KPK sekarang dengan payung hukum UU KPK lama belum memberikan harapan postitif bagi masyarakat dalam konteks penegakan hukum.

BACA JUGA: Kewenangan Kelola Guru Ditarik ke Pusat karena Kepala Daerah Semaunya

“UU KPK direvisi karena kami ingin pemberantasan korupsi lebih maksimal, lebih dipercaya, dan lebih tajam ke depannya,” tegas Politikus PDI Perjuangan ini.

Arteria mengatakan masyarakat juga sudah tidak tepat lagi untuk mempermasalahkan UU KPK yang ada. Pasalnya, seluruh Komisioner KPK yang baru menerima keberadaan UU tersebut.

"Kita ini semestinya tidak lagi membuat polemik, karena komisioner KPK yang baru tidak menolak UU KPK yang baru. Yang menolak itu pimpinan KPK yang lama,"  ujar Arteria.

Lebih lanjut, Arteria berharap Dewan Pengawas KPK bisa segera bekerja mendukung penegakan hukum. "Mudah-mudahan ini semua bisa membantu pimpinan KPK. Dan membantu KPK dalam melakukan kerja-kerja penegakan hukum pada 21 Desember nanti,” ujar Arteria.

Dia melanjutkan, Presiden punya hak prerogatif terhadap pemilihan nama-nama Dewas KPK.

"Mudah-mudahan publik bisa yakin dan kami dari DPR akan men-support apapun, baik KPK maupun pemerintah dalam giat pemberantasan korupsi," tambah Arteria.

Dewan Pengawas KPK yang terdiri dari lima orang merupakan struktur baru di KPK. Keberadaan dewan pengawas diatur dalam Undang-Undang KPK hasil revisi, yakni Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019.

Ketua dan anggota dewan pengawas dipilih oleh Presiden melalui panitia seleksi. Namun, untuk pembentukan dewan pengawas yang pertama kali ini, UU mengatur bahwa Presiden menunjuk langsung.

Di tempat yang sama, mantan Direktur Tipikor Kejaksaan Agung yang juga Praktisi hukum, Chairul Imam menduga beberapa penyidik di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) banyak yang tak memiliki kualifikasi di bidang penindakan. Pasalnya, di antara mereka bukan merupakan ASN atau penyidik jaksa hingga Polri.

"Mereka (karyawan) biasa yang diberikan pelatihan lalu menjadi penyidik. Bahkan bisa menerbitkan BAP dan menjadi orang tersangka," kata Chairul.

Chairul berpandangan, penindakan yang mereka lakukan tidak sah. Sebab, untuk menjadi penyidik diperlukan beberapa syarat. Seperti Surat Keputusan Menkumham bagi ASN dan SK Kapolri bagi penyidik Kepolisian.

"Ini harus dilihat apakah ada surat keputusan atau tidak. Bahkan polisi yang tak dapat SK tak bisa melakukan penindakan. Hanya dia yang reserse saja. Seperti polisi yang bertugas di pendidikan tak bisa dia asal menindak atau menjadikan orang terdangka," ungkap mantan Jaksa senior ini.

Hal inilah yang menurut Chairul, banyak tersangka di KPK menempuh mekanisme praperadilan.

Dia menjelaskan, memang di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pasal 77 menyatakan bisa melakukan praperadilan.

"Prosedur yang ada di KUHAP itu bisa dipraperadilankan," kata Chairul yang merupakan satu-satunya penegak hukum yang berani menjadikan Presiden kedua Soeharto sebagai tersangka ini.

Chairul berharap pimpinan KPK yang baru bisa mengoreksi total pelaksanaan tugas yang selama ini dianggap menyimpang. "Ini jadi harapan kita semua," kata Chairul Imam.(fri/jpnn)


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler