Politisi Golkar Ragukan Komitmen SBY Berantas Korupsi

Senin, 15 Oktober 2012 – 19:52 WIB
JAKARTA - Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Hajriyanto Y Thohari mengatakan, infrastruktur pemberantasan korupsi di Indonesia sudah cukup memadai. Hal yang belum dimiliki bangsa, menurut Hajriyanto adalah budaya untuk memberantas korupsi.

"Infrastruktur pemberantasan korupsi sudah cukup memadai. Mulai dari undang-undang hingga lembaganya semua sudah tersedia. Yang belum ada itu, budaya untuk memberantas korupsi," kata Hajriyanto Y Thohari, dalam Dialog Pilar Negara, bertema "Masa Depan Pemberantasan Korupsi Indonesia", di gedung Nusantara IV, komplek Parlemen, Senayan Jakarta, Senin (15/10).

Tersedianya infrastruktur dan lembaga-lembaga yang mendukung pemberantasan korupsi itu, lanjut Hajriyanto, merupakan komitmen MPR dalam memberantas korupsi. Setidaknya ada tiga ketetapan yang dibuat oleh MPR untuk ditindaklanjuti oleh DPR dan Presiden RI.

"Ada Tap MPR nomor 11 tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari KKN, Tap nomor 8 tahun tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi dan Tap MPR nomor 8 tahun 2001, khususnya Pasal 3 yang mengamanatkan Presiden RI memberikan laporan dalam sidang MPR hingga melahirkan sejumlah undang-undang dan lembaga dengan tujuan mengantisipasi dan memberantas korupsi, tapi semuanya tidak berjalan secara maksimal," ujar hajriyanto Y Thohari.

Malahan, kata politisi Partai Golkar itu, secara khusus Tap MPR juga memberikan tugas khusus kepada Presiden RI untuk bertindak sebagai administratur dalam memberantas korupsi berupa wewenang untuk memberhentikan pejabat negara dari jabatannya disaat berstatus tersangka korupsi.

"Itu pun tidak dilaksanakan Presiden dengan alasan tidak mau mengintervensi proses hukum. Padahal wewenang administratur untuk memberhentikan sementara seseorang tersangka dari jabatannya antara lain diperlukan agar proses penyelidikan dan penyidikan berjalan sebagaimana mestinya," ungkap Hajriyanto.

Lain halnya dengan kasus asusila yang tidak merugikan masyarakat secara massif. "Terbukti atau tidak bahkan tidak diproses hukum tindakan asusila seseorang, begitu cepat diberi sanksi. Kalau di DPR misalnya dilakukan pergantian antarwaktu. Tapi kalau kasus korupsi tidak pernah disanksi secara administrasi oleh Presiden. Padahal tindakannya jelas-jelas merugikan masyarakat dan keuangan negara," tegas Hajriyanto.

Tap-Tap MPR tersebut menurut Hajriyanto dilahirkan MPR adalah sebagai sikap merespon tuntutan reformasi supaya tuntutan reformasi tidak hanya menjadi teriakan-teriakan di pinggir jalan-jalan utama di kota-kota besar seluruh Indonesia. (fas/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Datang ke KPK, Perwira Polri Dicuekin

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler