Polri dan Kejagung Didesak Tuntaskan Kasus Korupsi Kepala Daerah

Selasa, 02 Oktober 2012 – 17:20 WIB
JAKARTA - Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi mendesak Kejaksaan Agung dan Markas Besar Polri segera menyelesaikan kasus pidana umum maupun kasus korupsi yang melibatkan pejabat setingkat kepala daerah. Desakan ini menyusul putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan pemeriksaan kepala daerah oleh penyidik dua institusi itu tak lagi membutuhkan izin Presiden RI.

Masalah perizinan itu dipatahkan setelah Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian gugatan judicial review Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi terhadap pasal 36 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

"Aturan itu dulunya dianggap sebagai penghambat upaya pemberantasan korupsi. Dengan adanya putusan MK maka ini angin segar untuk kejaksaan dan kepolisian. Jangan lagi ada alasan terhambat perizinan Presiden," kata praktisi hukum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Alfon Kurnia Palma dalam jumpa pers di kantor Indonesia Corruption watch (ICW), Kalibata, Jakarta Selatan, Selasa (2/10). Ia termasuk dalam tim yang menggugat pasal tersebut di MK.

Selain mendesak dua institusi lembaga penegak hukum ini, Alfon juga meminta Mahkamah Konstitusi segera memasukkan putusan itu ke dalam lembaga negara agar disejajarkan dengan Undang-Undang. Ia juga menyatakan, seharusnya pasal 36 ayat 3 tentang penahanan kepala daerah juga tidak membutuhkan izin Presiden. Namun, pasal itu tidak ikut dikabulkan oleh MK.

"Tidak mungkin ada kekosongan jabatan jika ada pemeriksaan atau penahanan kepala daerah, karena setiap kepala daerah ada wakilnya yang bisa menggantikan sementara. Jadi sekarang akan lebih mudah pemeriksaan," papar Alfon.

Seperti yang diketahui, MK dalam pertimbangan putusannya menyatakan sepanjang masih dalam tahap penyelidikan dan penyidikan, Kejaksaan Agung dan Kepolisian RI dapat langsung memeriksa kepala daerah tanpa perlu izin Presiden. MK juga beralasan bahwa izin Presiden pada tahap penyelidikan dan penyidikan berpotensi menghambat proses hukum. Selain itu, dapat secara tak langsung mengintervensi sistem penegakan keadilan.

MK juga berpendapat persetujuan tertulis Presiden tidak memiliki rasionalitas hukum yang cukup. Pasalnya, sebagai subyek hukum kepala daerah pun harus mendapat perlakuan yang sama di hadapan hukum. MK hanya tidak mengabulkan gugatan pasal 36 ayat 3 tentang penahanan kepala daerah yang membutuhkan izin presiden. Alasannya penahanan dikhawatirkan menghambat roda pemerintahan daerah.(flo/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Muhaimin Sidak Harga Kebutuhan Pokok

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler