Polri Dinilai Penuhi Perlindungan Kelompok Rentan yang Berhadapan dengan Hukum

Rabu, 18 Desember 2024 – 16:40 WIB
Anggota Polri. Ilustrasi Foto : Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Polri dinilai telah memenuhi perlindungan terhadap kelompok rentan baik perempuan maupun disabilitas terkait penanganan kasus dugaan kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh Agus alias IWAS di NTB.

Direktur Eksekutif CENTRA Initiative Muhammad Hafiz memberikan catatan tentang perlindungan kelompok rentan yang berhadapan dengan hukum oleh kepolisian.

BACA JUGA: TNI Kerahkan Puluhan Ribu Prajurit Bantu Polri Jaga Keamanan Natal & Tahun Baru

Menurutnya, data-data menunjukkan bahwa disabilitas, terutama perempuan, lebih rentan menjadi korban kekerasan seksual. Dalam kasus yang terjadi di NTB, seorang penyandang disabilitas justru menjadi pelaku, dengan korban yang semakin banyak mengadukan pelaku dengan kasus serupa.

"Dengan adanya respon terhadap situasi yang terjadi, terutama pengaduan yang dilaporkan oleh salah seorang korban, kepolisian daerah NTB berhasil mendorong korban-korban Agus lain untuk melaporkan kasus kekerasan seksual yang dialaminya. Dengan adanya pengaduan ini, bisa dikatakan bahwa korban berada pada kondisi nyaman dan aman untuk melaporkan tindakan kekerasan yang dialaminya," kata Muhammad Hafiz dalam keterangannya, Jakarta, Rabu (18/12).

BACA JUGA: Bea Cukai dan Polri Gagalkan Pengiriman Rokok Ilegal di Surabaya

Selain itu, dari proses penyelidikan dan penyidikan, nampak bahwa penegak hukum, terutama kepolisian, telah memiliki perspektif yang cukup memadai, setidaknya untuk memastikan adanya keterlibatan dari Komisi Nasional Disabilitas NTB di dalam prosesnya.

Kepolisian memastikan pula hak-hak Agus, sebagai penyandang disabilitas, yang diduga sebagai pelaku tetap dilindungi, seperti dengan penangguhan penahanannya, namun kepolisian tetap fokus pada skema pembuktian perkara dan menjaga independensi proses peradilan.

BACA JUGA: Kowani Dukung Polri atas Berdirinya Dittipid PPA-PPO

"Setidaknya, hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2020 Tentang Akomodasi yang Layak untuk Penyandang Disabilitas dalam proses peradilan," ujarnya.

Adanya pemahaman yang memadai aparat penegak hukum ini tidak dapat dipisahkan dari beberapa hal, di antaranya adalah adanya dukungan dan kepercayaan publik kepada kepolisian untuk tetap berlaku adil dan akuntabel dalam penegakan hukum, terutama kekerasan seksual.

"Selain itu, upaya kepolisian membangun skema koordinasi dengan lembaga penegak hukum lain, organisasi penyandang disabilitas, termasuk penyedia layanan juga meningkatkan efektifitas penanganan kasus yang lebih inklusif dan partisipatif. Dari sisi internal, sejumlah diklat dan penguatan di internal kepolisian setidaknya telah cukup terbukti dalam penanganan kasus Agus di NTB ini," paparnya.

Disisi lain, Muhammad Hafiz memberikan sedikit catatan soal langkah lanjutan penegakan hukum inklusif.

Diantaranya, penguatan kebijakan kepolisian yang menjadi rujukan dalam proses penegakan hukum, terutama di tahap penyidikan dan penyelidikan.

"Kebijakan ini setidaknya menjadi pedoman bagi Kepolisian ketika menangani situasi-situasi penyandang disabilitas berhadapan dengan hukum, baik sebagai korban maupun pelaku tindak pidana," ucapnya.

Kemudian, meningkatkan kapasitas dan jumlah personel yang memiliki pemahaman dan keterampilan, termasuk kemampuan bahasa isyarat, sebagai prasyarat pencapaian sistem penegakan hukum yang inklusif.

"Meningkatkan sarana dan prasarana aksesibilitas dan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas, di antaranya dengan melakukan audit infrstruktur akses di seluruh unit kerja kepolisian, menyusun roadmap pelaksanaan dan targetnya, serta secara kolaboratif dan partisipatif dengan organisasi penyandang disabilitas untuk mewujudkannya," pungkas dia. (cuy/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Jenderal Sigit: Polri-TNI Amankan 61 Ribu Lokasi Ibadah & Rekreasi Saat Nataru


Redaktur & Reporter : Elfany Kurniawan

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler