jpnn.com - Ruhut Sitompul dianggap menghina Anies Baswedan dengan mengunggah foto editan menggambarkan Anies memakai atribut tradisional Papua.
Ruhut dilaporkan ke polisi, tetapi dia berkilah tidak tahu bahwa foto itu palsu dan dia mengaku mendapatkannya dari orang lain.
BACA JUGA: Ruhut Unggah Konten Anies Pakai Koteka, Wagub DKI Jakarta Balas Begini
Belum berselang lama, beberapa waktu yang lalu seorang pemuda viral di media sosial karena menyebut Anies sebagai ‘’orang Yaman’’.
Kali ini unggahan Ruhut juga menjadi viral. Dua unggahan itu berbeda, tetapi ada unsur kesamaannya, yaitu mempermasalahkan etnisitas Anies.
BACA JUGA: Dihubungi Mega, Roy Suryo Menjawab Begini, Bang Ruhut Siap-siap Ya
Ruhut Sitompul, sering disebut sebagai si Poltak, sudah sangat dikenal sebagai bagian dari kubu yang berseberangan dengan Anies. Pada Pilkada 2017, Ruhut menjadi juru bicara pasangan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dengan Djarot Saiful Hidayat yang dikalahkan oleh pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno.
Ruhut dikenal terampil dalam berakting di televisi. Perannya sebagai Poltak si Raja Minyak dalam sinetron televisi membuat namanya dikenal publik. Penikmat sinetron senang dengan gaya si Poltak yang kental dengan logat Batak lengkap dengan gayanya yang alot dan kenyal.
BACA JUGA: Jubir Habib Rizieq Komentari Kasus Bang Ruhut, Begini Kalimatnya
Keterampilannya dalam dunia akting menjadi modal yang penting bagi Ruhut ketika terjun ke dunia politik.
Dia pintar berganti-ganti peran ketika bermain di panggung politik. Ruhut dikenal sebagai salah satu politikus yang lincah, bisa bergerak lincah ke sana ke mari.
Dia pernah menjadi anggota Golkar semasa Orde Baru dan sempat menjadi salah satu pengacara Soeharto.
Di era reformasi, ketika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi presiden pada 2004 Ruhut meloncat ke Partai Demokrat. Setelah SBY lengser, Ruhut pun meloncat ke partai penguasa, PDIP.
Sebagai etnis Batak, Ruhut punya pengalaman terhadap kebhinekaan. Dia pernah menikah dengan perempuan Jawa sehingga punya pengalaman langsung mengenai budaya Jawa. Ruhut tentu paham bahwa etnisitas yang beragam di Indonesia menjadi ingredient utama kebhinekaan yang menjadi tulang panggung NKRI.
Bangsa Indonesia sudah menyepakati konsensus nasional dengan melepas latar belakang etnis dan semua hal yang berbau feodalisme, untuk bersama-sama membangun negara bangsa pada momen kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Negara bangsa dan demokrasi dipilih oleh bangsa Indonesia sebagai entitas dan sistem pemerintahan baru untuk memutus rantai feodalisme penjajahan di masa lalu.
Etnis Jawa adalah mayoritas di Indonesia dengan proporsi hampir 50 persen, sementara etnis Batak jumlahnya sekitar 3,5 persen, termasuk etnis nasional yang kecil bersama dengan entitas-entitas etnis lainnya. Feodalisme melahirkan superioritas satu etnis di atas etnis lainnya.
Suku Jawa yang menjadi mayoritas menganggap dirinya sebagai suku yang lebih berbudi dan lebih beradab dari lainnya. Suku Jawa menganggap dirinya ‘’alus’’ atau halus. Suku Jawa merasa refined, dimurnikan, seperti Pertamax yang lebih murni ketimbang bensin biasa.
Orang Jawa feodal menganggap orang lain kurang alus dan bahkan kasar. Masyarakat di luar orbit Majapahit--sebagai entitas feodal besar ketika itu--disebut sebagai wilayah mancanegara yang diperlakukan sebagai daerah taklukan.
Jawa menjadi punjer atau episentrum kekuasaan dan peradaban. Jawa bukan sekadar sebutan etnis dan entitas kekuasaan, tetapi juga menjadi konsep peradaban.
Jawa berarti halus, berbudi, dan maringi (memberi). Orang yang tidak punya sopan santun disebut ‘’tidak jawa’’, anak-anak yang belum akil balig disebut ‘’gak jawa’’ atau tidak jawa. Orang yang pelit disebut ‘’tidak jawa’’.
Kalau Ruhut Sitompul disebut ‘’tidak jawa’’ itu bukan sekadar untuk menggambarkan etnisitas, tetapi sekaligus menggambarkan sikap yang tidak sesuai dengan standar Jawa. Terasa ada unsur diskriminasi dalam penyebutan itu, tetapi itulah yang terjadi sampai sekarang, karena sisa-sisa feodalisme belum sepenuhnya terkikis.
Dalam berkomunikasi orang Jawa punya tata krama dan tata bahasa bertingkat-tingkat.
Edward T. Hall menyebut tata krama dan tata bahasa Jawa yang penuh unggah-ungguh itu sebagai high context culture, sementara tata krama Batak yang lebih egaliter yang terbuka dikategorikan sebagai low context culture. Orang Jawa bangga dengan sebutan high context culture meskipun hal ini menyiratkan stratifikasi sosial yang tidak egaliter dan tidak demokratis.
Ketika penjajah masuk ke Indonesia feodalisme dikekalkan melalui aturan segregasi sosial.
Orang-orang Eropa dikategorikan sebagai etnis kelas satu dengan privilege dan perlakuan khusus.
Orang-orang Tionghoa dan orang asing dimasukkan dalam kategori tersendiri pada kelas yang lebih tinggi dibanding orang-orang pribumi.
Penduduk asli disebut sebagai inlander dan menempati strata sosial paling rendah.
Politik belah bambu menjadi andalan pemerintah kolonial untuk menguasai wilayah jajahan. Devide et impera diterapkan dengan memecah-belah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil supaya mudah ditaklukkan.
Divide and conquer, pecah belah dan kuasai, menjadi strategi umum kolonialis dan imperialis Eropa.
Proklamasi kemerdekaan membongkar praktik kolonialisme itu.
Bangsa Indonesia mempunyai kesadaran nasional sejak Sumpah Pemuda 1928 dengan lahirnya semboyan ‘’satu nusa, satu bangsa, satu bahasa’’.
Etnisitas yang bermacam-macam melebur menjadi satu menjadi entitas nasional Indonesia. Kebhinekaan yang sangat beragam melebur menjadi satu dalam negara kesatuan.
Strata sosial dan ekonomi yang diwariskan oleh penjajah dibongkar dan dihilangkan. Dibentuklah tatanan baru yang lebih egaliter dan demokratis.
Bahasa Indonesia dipilih sebagai bahasa nasional karena lebih egaliter dan demokratis dibanding bahasa Jawa. Setiap orang dianggap sejajar dan sederajat dan dipanggil dengan sebutan ‘’bung’’.
Tatanan yang egaliter dan demokratis ini mengalami distorsi selama Orde Lama. Presiden Soekarno menghidupkan kembali spirit feodalisme dengan menyebut dirinya ‘’Paduka Yangmulia Presiden Republik Indonesia’’, sebutan yang selama era feodal dipakai oleh raja-raja. Soekarno kemudian mengangkat diri menjadi presiden sumur hidup, sama dengan para raja feodal yang menjadi penguasa sepanjang hidupnya sampai mati.
Orde Baru muncul dan mengeklaim akan melakukan koreksi terhadap penyimpangan Orde Lama, tetapi yang terjadi kemudian tidak banyak berbeda. Feodalisasi selama Orde Baru dilakukan dengan menjadikan etnis Jawa sebagai konsep dominan. Presiden Soeharto memakai konsep kekuasaan Jawa untuk memperkuat legitimasi politiknya.
Soeharto menempatkan diri sebagai penguasa dan raja Jawa. Soeharto memakai filosofi kekuasaan Jawa dalam praktik politik praktis. Budaya Jawa menjadi budaya dominan yang dipaksakan dan diseragamkan di seluruh Indonesia.
Istilah-istilah Jawa dipakai di seluruh Indonesia tanpa memperhatikan lokalitas dan kearifan lokal. Nama bangunan seperti ‘’Graha Sabhaloka’’ dipakai di Jawa sampai ke Papua. Orang lokal tidak paham artinya, dan bahkan tidak bisa mengejanya dengan sempurna.
Orde Baru jatuh dan lahirlah Orde Reformasi. Keutuhan negara kesatuan sempat retak karena gejolak etnis di beberapa wilayah. Identitas etnis masih tetap hidup seperti api dalam sekam yang setiap saat bisa meledak menjadi kebakaran besar.
Bangsa Indonesia sudah menyepakati konsensus nasional dengan menjadikan Pancasila sebagai dasar. Negara kesatuan sudah disepakati sebagai entitas yang menjadi rumah besar bagi semua etnis, budaya, adat istiadat, dan agama.
Memainkan isu-isu etnis dan isu primordial bisa mengancam fondasi utama bangsa dan bisa membuatnya ambruk. Tidak ada privilege bagi kelompok suku yang lebih besar dibanding kelompok etnis yang minoritas. Tidak ada privilege satu agama atas agama lainnya.
Poltak si Raja Minyak sudah punya pengalaman pribadi mengenai kebhinekaan dan sering menyuarakan jargon-jargon kebhinekaan dan kesatuan. Poltak harus berhenti mengolok-olok Anies Baswedan dengan memakai isu dan idiom etnis. (*)
Yuk, Simak Juga Video ini!
Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror