JAKARTA - PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) menetapkan Rp 2,95 triliun sebagai dividen dari kinerja perseroan sepanjang 2013. Robert Budi Hartono dan Michael Bambang Hartono sebagai pemegang saham mayoritas dari Grup Djarum mengantongi sekitar Rp 1,39 triliun di antara total dividen yang dibagikan itu.
Dalam laporan keuangan BBCA 2013, tercatat Farindo Investments Ltd qq Robert Budi Hartono danMichael Bambang Hartono memegang 11.625.990.000 saham perseroan atau setara 47,15 persen. Hasil RUPST BCA kemarin menetapkan dividen senilai Rp 120 per saham atau total Rp 2,95 triliun.
Dengan kepemilikan sebanyak itu, Budi dan Michael berhak atas dividen sebesar Rp 1,39 triliun. Total dividen dibagikan sebesar Rp 2,95 triliun itu setara 20,70 persen di antara total laba bersih bank swasta terbesar di Indonesia tersebut sebesar Rp 14,25 triliun pada 2013.
Selain keluarga Djarum, Anthony Salim menikmati hasil kinerja emiten dengan kode perdagangan BBCA itu dengan perÂolehan dividen sebesar Rp 52,08 miliar. Bos Grup Indofood itu tercatat sebagai pemilik 434.079.976 saham perseroan atau setara 1,76 persen.
Direktur Utama BBCA Jahja Setiaatmadja mengatakan, di antara total dividen tunai Rp 120 per saham itu, Rp 45 per saham sudah dibagikan sebagai dividen interim pada 17 Desember 2013. Secara total, dividen interim yang sudah dibagikan sebesar Rp 1,10 triliun. Dengan begitu, sisa dividen yang akan dibagikan Rp 75 per saham atau sebesar total Rp 1,84 triliun.
Jahja mengatakan, porsi dividen 20,7 persen dari laba tahun buku 2013 itu memang secara persentase berkurang bila dibandingkan dengan 24 persen pada 2012. Hal tersebut perlu dilakukan karena perseroan ingin memperkuat permodalan. "Kita butuh peningkatan modal untuk persiapan Basel III (kesepakatan bank-bank sentral internasional diimplementasikan mulai 2019). Basel III kan butuh modal yang lebih tinggi," ujarnya kemarin.
RUPST juga menyepakati Rp 142,53 miliar untuk disisihkan sebagai dana cadangan BBCA. Adapun sisa dari laba bersih 2013 yang tidak ditentukan penggunaannya, yaitu minimal Rp 10,93 triliun, ditetapkan sebagai laba ditahan.
Sementara itu, untuk diversifikasi sumber pendanaan, PT OCBC NISP Tbk (NISP) berencana merilis surat utang minimal Rp 3 triliun tahun ini. Presiden Direktur OCBC NISP Parwati Surjaudaja mengatakan, pihaknya telah mengajukan izin penerbitan obligasi kepada otoritas. Meski begitu, pihaknya masih memantau kondisi pasar. "Jumlahnya bisa sampai Rp 3 triliun dan dibagi beberapa tahap. Ini untuk diversifikasi sumber pendanaan," ujarnya kemarin (8/4).
Awal tahun lalu OCBC NISP telah menerbitkan obligasi berkelanjutan I Bank OCBC NISP sebesar Rp 3 triliun. Obligasi tersebut mengalami kelebihan permintaan atau oversubscribe Rp 1 triliun. Bunga obligasi yang ditawarkan kepada investor tahun ini dimungkinkan lebih tinggi daripada periode sebelumnya. "Tahun lalu belum ada gejolak dari peningkatan BI rate," terangnya.
Tahun ini OCBC NISP menargetkan pertumbuhan bisnis pada kisaran 15-20 persen. Parwati menyatakan, total modal perseroan saat ini Rp 12,8 triliun dan secondary reserve atau dana cadangan Rp 17,7 triliun.
"Kuartal pertama harus diakui, kredit dan dana relatif lambat. Harapannya, April sudah kondusif. Tahun pemilu memicu kami optimistis terhadap target pertumbuhan," kata Parwati. (gen/gal/c10/oki)
BACA JUGA: Ekspor Mobil Naik Lipat Dua
BACA ARTIKEL LAINNYA... Keok dalam Persaingan, HTC Rugi Rp 7 Triliun
Redaktur : Tim Redaksi