jpnn.com, JAKARTA - Direktur Komersial PT Pos Indonesia Charles Sitorus mengatakan, aktivitas logistik dari dan ke Indonesia Timur memiliki tantangan tersendiri dibandingkan dengan wilayah lain dari sisi transportasi.
Menurut dia, pengiriman dari dan ke kawasan Indonesia Timur kerap tergantung pesawat.
BACA JUGA: Didukung Kemensos, Pos Indonesia Optimistis Penyaluran BST Tahap III Capai Target
Namun, jadwal penerbangan yang ada belum seramai lalu lintas udara di kawasan barat.
“Kadang masalahnya muncul begini. Saat berangkat kirim ke sana (timur) barang ada, tetapi saat hendak balik justru kosong. Maka, perlu kerja sama dengan pemerintah daerah untuk kembangkan UMKM di sana,” tutur Charles dalam Katadata Forum Virtual Series bertajuk Pola Perubahan Konsumen Belanja Online, Selasa (14/7).
BACA JUGA: Pos Indonesia Garap Transaksi Online yang Tidak Masuk Marketplace
Menyadari potensi bisnis dari aktivitas belanja secara daring tersebut, Pos Indonesia berusaha memperluas jangkauan layanan.
Charles menjelaskan, perseroan semula didesain untuk pengiriman dokumen dan surat.
Namun, beberapa tahun terakhir pihaknya memperkuat layanan di lini pengiriman paket dan jasa kurir.
“Pos punya jaringan terluas di Indonesia, hampir seluruh kecamatan di Indonesia. Hal ini menjadi kekuatan luar biasa sebetulnya bagi kami. Ini memosisikan kami pada posisi sebagai penyedia layanan yang bisa diandalkan,” kata Charles.
Khusus bagi pedagang online, PT Pos Indonesia menyediakan Q-Comm sejak 2019.
Perseroan pelat merah ini berharap bisa meraup setidaknya sepuluh persen pasar e-commerce melalui layanan baru ini.
Q-Comm memungkinkan pelapak daring mengirimkan barang maksimal dua hari.
“Reaksi pebisnis daring bagus sekali. Kami terus tingkatkan kualitas layanan COD. Arah ke depan, kami kerja sama dengan perusahaan dompet elektronik untuk sediakan layanan COD cashless,” tutur Charles.
Di sisi lain, Dosen Universitas Multimedia Nusantara Zaroni mengutarakan, ongkos logistik di Indonesia secara umum tergolong tinggi dibandingkan dengan negara-negara tetangga, yakni berkisar 23 persen.
Beberapa rekomendasi dikemukakan untuk mengatasi kondisi ini. Misalnya, melalui perbaikan konektivitas transportasi terutama dari dan ke wilayah timur.
Menurut Zaroni, hal lain yang perlu diperhatikan adalah soal standardisasi barang kiriman alias paket.
“Standar pengemasan sebetulnya penting juga agar meningkatkan efisiensi ketika loading dan penumpukan barang di kontainer,” ucap Zaroni.
Dia juga menyinggung digitalisasi logistic. Misalnya, dokumen logistik sebaiknya dapat diakses secara daring dan idealnya cukup satu.
Dengan demikian, tak perlu ganti dokumen beru setiap kali ganti moda transportasi.
Langkah-langkah semacam itu, imbuh Zaroni, bisa menurunkan ongkos logistik sekitar lima persen. (jos/jpnn)
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
Redaktur & Reporter : Ragil