jpnn.com, JAKARTA - Langkah pemerintah mengimplementasikan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai/PPN, untuk produk perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) mulai 1 Juli mendatang dinilai tepat.
Hal itu melihat traffict digital di Indonesia terus meningkat, imbas adanya kebijakan work from home (WFH).
BACA JUGA: Telkomsel Sediakan Kuota Internet Murah untuk Guru dan Siswa Madrasah
Demikian disampaikan Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan merespons rencana pemerintah menerapkan pajak digital berdasarkan PMK Nomor 48/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Penunjukan Pemungut, Pemungutan, dan Penyetoran, serta Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean melalui Perdagangan Sistem Elektronik.
Potensi penerimaan dari pajak digital itu antara lain dari layanan televisi berlangganan seperti netflix inc, news corp, bloomberg dan lain-lain, dihitung dari proyeksi pendapatan mereka (perusahaan terkait) dalam setahun dan dikalikan PPN 10 persen, dengan asumsi tingkat kepatuhan pajak sebesar 50 persen potensi penerimaan pajak tersebut bisa mencapai Rp 530 miliar.
BACA JUGA: Tekan Angka Kebocoran Pajak, Batam Segera Terapkan Sistem Berbasis Digital
"Tentunya jumlah tersebut cukup besar bagi penerimaan negara, terlebih di tengah pandemi Corona seperti saat ini. Apalagi kalau berlaku untuk semua PMSE nilainya bisa triliunan," ucap Her Gunawan di Jakarta, Rabu (10/6).
Berdasarkan kajian, katanya, nilai transaksi barang digital tahun 2018 yang berasal dari luar negeri bisa mencapai Rp 93 triliun.
BACA JUGA: Protes Rencana Jahat Israel, Warga Palestina Ogah Bayar Pajak
Dari segi PPN maka potensial yang seharusnya diperoleh mencapai Rp. 9,3 triliun.
Total nilai tersebut berasal dari berbagai bentuk transaksi digital seperti sistem perangkat lunak dan aplikasi seperti aplikasi zoom, salesforce.com.inc, Servicenow inc, dan lain-lain.
Kemudian dari gim, video, dan musik seperti Mobil Legend, Point Blank, zynga, dan lainnya.
Potensi lainnya berasal dari perangkat lunak khusus, telepon genggam seperti kakaotalk, Agoda, Nokia Corp, dan sejenisnya. Serta layanan televisi berlangganan seperti netflix inc, news corp, bloomberg dan layanan over the top (OTT) seperti IG, FB, Yahoo, dan lain-lain.
Namun demikian, Hergun sapaan karib Heri Gunawan menilai ada beberapa poin yang menjadi persoalan di dalam PMK 48/2020 yang akan diberlakukan 1 Juli nanti.
Pertama, pelaku usaha yang dari luar negeri seperti Zoom, Netflix dan sebagainya bisa menekan pemerintah dari masing-masing negaranya untuk melakukan intervensi. Terutama pelaku usaha digital dari Tiongkok yang memang pemerintahnya memiliki peran besar.
"Kedua, dengan adanya bukti bahwa kegiatan pelaku usaha PMSE mempunyai significant economic presence, maka implementasinya harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Data yang pasti hanyalah dimiliki oleh perusahaan, negara mungkin hanya bisa memperkirakan, harus benar-benar harus tepat sasaran," legislator Gerindra ini.
Ketiga, data digital merupakan barang tak kasat mata, bukan seperti aset atau barang yang berwujud.
Oleh karena itu, pemerintah harus lebih detail mengetahui transparansi transaksi digital dari setiap konsumen.
Keempat, pemerintah perlu menghitung dampak perpindahan konsumen ke berbagai situs yang masih bebas menjual tanpa ada kewajiban PPN.
Wakil ketua Fraksi Gerindra DPR ini menyarankan sebaiknya pemerintah dapat memilih transaksi digital mana dulu yang harus dikenakan PPN, serta mana yang harus dibiarkan layanannya berjalan terlebih dahulu tanpa PPN guna memberikan produk yang murah kepada masyarakat.
"Artinya, dalam penerapan awal nanti pemerintah bisa melakukannya secara bertahap, sesuai dengan produk prioritas yang bisa dikenakan PPN agar masyarakat bisa menyesuaikan diri secara perlahan," kata Hergun.
Dimungkinkan masih ada celah di dalam PMK bagi transaksi PMSE, maka pemerintah harus memperhatikan setiap detail yang bisa berpotensi menjadi masalah di kemudian hari, terutama terkait perusahaan-perusahaaan besar dari luar negeri.
"Pemerintah harus lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan. Niat menambah pajak, jangan sampai malah merugikan dengan memicu negara lain menerapkan hal yang lebih besar dan memberikan dampak negatif bagi Indonesia," katanya mengingatkan.
Hergun meyakini pemerintah melalui otoritas pajak sudah melakukan pendekatan dan komunikasi dengan perwakilan yurisdiksi yang merupakan pelaku usaha antara lain berasal dari Amerika Serikat, Australia, China, Hong Kong, India, Inggris, Jepang, Singapura, Swedia, dan Thailand, termasuk anggota-anggota perusahaan dari US Chamber, US Asean Business Council (USABC) dan European Chamber.
Pemerintah juga harus menyosialisasikan mekanisme, ketentuan dan kriteria Significant Economic Presence (SEP), Bentuk Usaha Tetap (BUT), tarif pajak PTE, dan ketentuan administrasi lainnya seperti pendaftaran, pelaporan, penyetoran, dan sanksi.
"Tentunya, kesederhanaan dan kepastian hukum dalam pemenuhan kewajiban administrasi PPN atas PMSE akan mendorong kepatuhan sukarela yang tinggi dari Wajib Pajak," tandas politikus asal Sukabumi ini. (fat/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam