Potret Kampung Jawa di Kecamatan Wonomulyo, Sulawesi Barat

Ada Yang Fasih Berbahasa Kromo, tapi Tak Lancar Bahasa Bugis

Rabu, 28 Maret 2012 – 00:08 WIB
Jalan R. Soeparman di jantung Kecamatan Wonomulyo, Kabupaten Polewali Mandar di Sulawesi Barat. Soeparman merupakan orang Jawa pertama yang transmigrasi ke Sulawesi Barat pada 1931. Foto: Agung Putu Iskandar/Jawa Pos

Di Kecamatan Wonomulyo, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat, terdapat kampung Jawa. Sebagian penduduknya warga keturunan Jawa dengan bahasa dan adat istiadat yang njawani. Mereka hidup rukun dengan warga asli setempat.
    
AGUNG PUTU ISKANDAR, Polewali Mandar

JUMAT (23/3) pagi itu Sukmawati bersiap membuka warung makannya yang tak jauh dari Pasar Wonomulyo, Polewali Mandar. Tak lama kemudian, salah seorang penjual sayur menghampiri ibu muda tersebut.
   
"Lombokke ono? Aku tuku sewu ae (Lomboknya ada" Saya beli Rp 1.000 saja, Red)," kata Sukmawati. "Nuwun yo," imbuhnya sambil menerima uluran bungkusan cabai rawit dari pedagang sayur keliling.
   
Pembicaraan menggunakan bahasa Jawa di pasar itu tampak begitu biasa. Padahal, orang-orang yang berbicara juga bukan orang Jawa asli. Sukmawati, misalnya. Dia kelahiran Polewali, Polewali Mandar, 30 tahun silam. Memang, ada darah Jawa di tubuhnya. Ibunya dari Jawa, sedangkan bapak keturunan Bugis.

Sukmawati fasih berbahasa Jawa karena bahasa sehari-hari di Wonomulyo adalah bahasa Jawa. Saking fasihnya berbahasa Jawa, dia sampai tidak lancar berbahasa Bugis, bahasa keluarga ayahnya yang asli Sulawesi Selatan.

"Kalau ada orang ngomong Bugis, kami sih bisa paham artinya. Tapi, kami tidak bisa kasih keluar (maksudnya, tidak bisa berkata dalam bahasa Bugis, Red)," katanya.

Letak Kecamatan Wonomulyo berdampingan dengan ibu kota Kabupaten Polewali Mandar (Polman). Polman sendiri berjarak 246 kilometer dari Makassar atau enam jam perjalanan mobil. Waktu tempuh itu relatif cepat karena kondisi jalannya memang sudah bagus. Sebelumnya, untuk rute Makassar Polman dibutuhkan waktu sekitar sembilan jam karena kondisi jalannya yang rusak.
   
Wonomulyo dulu merupakan sebuah distrik proyek penjajahan Belanda di Indonesia. Pihak kolonial bermaksud membangun basis pertanian dengan membuka lahan dari hutan. Pada 1937, ribuan orang dari Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jogjakarta dikirim untuk mengerjakan proyek pembukaan lahan baru pertanian itu.

Para pekerja itu, antara lain, dari Ambarawa, Semarang, Magelang, Jogjakarta, Kediri, dan Ponorogo. Hal yang sama kembali dilakukan Belanda pada 1941.

Belanda mendatangkan orang-orang Jawa menggunakan kapal yang sandar di dermaga yang khusus dibangun di pesisir Polman. Mereka menyuruh orang-orang Jawa yang dikenal ahli bertani untuk babat alas membangun lahan pertanian di Polman. Saat tiba, ribuan orang ditempatkan di barak-barak penampungan di lapangan luas di pinggir sungai yang kini bernama Kelurahan Sidodadi. Bekas barak tersebut kini sudah berubah menjadi bangunan sekolah dasar.

"Saat tiba di sini, kami diberi nomor untuk diundi. Kami harus mencocokkan nomor itu dengan nomor lahan di hutan yang harus digarap. Banyak yang mati karena terkena malaria," kata R. Imam Basori, salah seorang sesepuh warga Kampung Kebun Sari, Wonomulyo.

Imam termasuk generasi awal penduduk Jawa yang "ditransmigrasikan" ke Polman. Dia ikut orang tuanya pada 1941 untuk pindah ke Wonomulyo. Ayahnya, R Soegiono, membawa Imam saat masih berusia setahun. Setelah dewasa, Imam menikahi wanita asli Wonomulyo bernama Munirah. Meski kelahiran Wonomulyo, orang tua Munirah dari Kediri.

"Saya orang Jawa, tapi nggak pernah pulang ke Jawa. Lha gimana lagi, saudara-saudara sudah kerasan di sini," katanya.

Imam juga masih punya hubungan kekerabatan dengan R Soeparman yang merupakan pionir kolonis pada 1937. Saat itu dia ditunjuk sebagai asisten wedana yang bertanggung jawab sebagai orang kedua di distrik tersebut. Namanya kini diabadikan sebagai salah satu nama jalan tepat di jantung kota Kecamatan Wonomulyo.

Sejatinya, kata Imam, ribuan orang Jawa tewas dalam proyek tersebut. Hanya orang-orang yang tahan bantinglah yang bisa bertahan hidup. Lemah atau malas sedikit saja, mereka bisa tewas karena kelelahan dan penyakit malaria. Apalagi, lahan yang harus mereka buka rata-rata satu hektare per orang.

Meski begitu, program tersebut terus dilakukan karena banyak warga yang berhasil. Beberapa orang lantas membangun infrastruktur pertanian seperti bendungan, saluran irigasi, dan jembatan. Nah, para kolonis (sebutan dari Belanda buat para pembuka lahan di Indonesia) lantas mendirikan kampung berdasar nama asal mereka. Misalnya kampung Ponorogo, Kediri, Sugih Waras, Bumi Ayu, Kebun Sari, Jogja Lama, Jogja Baru, Kuningan, Magelang, dan Sumberejo.

Karena itulah, nama distrik tersebut yang kemudian menjadi kecamatan setelah Indonesia merdeka" dinamai dengan filosofi Jawa. Yakni, Wonomulyo. "Artinya, ini adalah hutan yang memulyakan dan membawa keuntungan bagi banyak orang," kata Imam lantas tersenyum.

Banyaknya lahan yang dibuka mengundang suku setempat untuk datang. Mereka adalah suku Mandar, Bugis, dan Toraja. Kendati demikian, dominasi Jawa di kecamatan tersebut tidak bisa dielakkan.

Buktinya, hampir semua infrastruktur bangunan menggunakan filosofi Jawa. Misalnya, pendapa kecamatan, kelurahan, dan desa yang bergaya joglo. Rumah-rumah di perkampungan juga banyak yang menyentuh tanah dan beratap genting. Masyarakat asli biasanya dapat dilihat dari rumah panggung dan atap rumah dari daun nipah.
   
Hebatnya, sejauh ini tidak pernah terjadi konflik antaretnis di Wonomulyo. Para penduduk saling membaur. Mereka bahkan rata-rata bisa empat bahasa sekaligus: Bugis, Mandar, Toraja, dan Jawa.

Bahasa Jawa banyak dipakai di pasar dan tempat-tempat umum, sedangkan bahasa lain di tempat-tempat tertentu. Orang-orang Jawa biasanya ditunjuk untuk mengambil jabatan tertentu, seperti kepala desa. Imam bahkan terpilih menjadi kepala desa selama tiga periode pada 1963-1993.
   
Perkembangan Wonomulyo terus melejit seiring banyaknya penduduk. Kendati bukan kota utama di Polman, Wonomulyo justru merupakan kecamatan terpadat di Polman. Wonomulyo juga merupakan kecamatan dengan aktivitas ekonomi paling sibuk, mengalahkan Kota Polewali.
   
"Orang kalau belanja apa-apa ke Wonomulyo. Bukan ke Polewali. Bahkan, orang Makassar, Majene, Pare-pare, kalau kulakan juga ke sini," kata Sukmawati.

Sampai saat ini kebiasaan-kebiasaan budaya Jawa juga masih dilakukan di Wonomulyo. Di antaranya kesenian reog yang selalu tampil tiap kali ada hajatan besar. Selain itu, ada kuda lumping lengkap dengan aksi mencambuk diri sendiri. "Kadang-kadang heran juga, itu apa nggak sakit kakinya dicambuki," kata Sukmawati lantas terkekeh.

Orang-orang berdarah Jawa sudah menganggap Wonomulyo sebagai rumahnya. Apalagi, lambat laun orang-orang kelahiran Jawa sudah banyak yang meninggal. Kini yang banyak adalah warga berdarah campuran antara Jawa dan suku setempat. Mereka berbahasa Bugis, Mandar, Toraja, tapi dengan logat Jawa.

Imam mengungkapkan, tak pernah ada pikiran untuk kembali ke Jawa, tanah kelahirannya. Dia pernah ke Malang untuk menghadiri acara pernikahan putrinya.

"Ternyata di sana (Malang) kok serba tidak teratur, ya. Saya tidak betah. Inginnya segera balik ke sini. Lebih baik di sini saja karena hidup jadi teratur," katanya lantas tersenyum. (*/c2/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Harga Lebih Murah, Incaran Pedagang Daerah


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler