PP 109/2012 Dinilai Masih Mumpuni & Tepat Mengatur Ekosistem IHT, tak Perlu Direvisi

Selasa, 14 Februari 2023 – 21:23 WIB
Para pekerja di industri tembakau (Ilustrasi). Foto dok Bea Cukai

jpnn.com, JAKARTA - Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), Benny Wahyudi, menilai PP 109/2012 yang berlaku saat ini masih mumpuni dan sudah tepat dalam mengatur ekosistem pertembakauan dengan baik.

PP 109/2012 yang berlaku saat ini telah mengatur berbagai desakan yang dilontarkan oleh Kementerian Kesehatan.

BACA JUGA: Revisi PP 109/2012 Dinilai Hanya Akan Mematikan Industri Rokok legal

Misalnya, Pasal 23 yang telah menyebutkan tentang pelarangan penjualan produk tembakau kepada anak di bawah usia 18 tahun.

Pasal 49 yang menjelaskan pengaturan Kawasan Tanpa Rokok, Pasal 31 yang mengatur secara rinci tentang iklan ruangan, Pasal 37 yang mengatur secara ketat terkait merek (brand) ataupun aktivitas produk, serta Pasal 47 yang mengatur terkait sponsorship.

BACA JUGA: Menjelang KOPIKO F1Powerboat Danau Toba, InJourney Matangkan Berbagai Persiapan

“Poin-poin revisi yang didorong oleh Kementerian Kesehatan secara jelas sudah tercantum dalam PP 109/2012 yang berlaku saat ini,” ujar Benny dalam diskusi 'Revisi PP 109/2012, Wujud Nyata Denormalisasi Industri Hasil Tembakau Nasional' di Jakarta, Selasa (14/2).

Rencana revisi PP 109/2012 ini disebut bertujuan untuk menurunkan prevalensi perokok anak. Namun, data yang dijadikan acuan oleh Kementerian Kesehatan adalah data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 yang menyebutkan bahwa prevalensi perokok anak berada di angka 9,1%.

BACA JUGA: Berkunjung ke Pupuk Kaltim, PUSRI Belajar Pengembangan Inovasi Sosial dan TJSL

“Upaya untuk mencegah akses penjualan dan pembelian rokok kepada anak-anak harus digalakkan lagi, dan dilakukan secara kolaboratif oleh seluruh lapisan masyarakat, mulai dari orang tua, tenaga pendidik, pedagang, pihak swasta, hingga pemerintah,” jelas Benny.

Oleh karena itu, Gaprindo menyarankan, sebaiknya pemerintah melakukan evaluasi komprehensif dengan indikator yang akurat baik di tingkat nasional maupun daerah, sebelum memutuskan untuk melakukan revisi PP 109/2012.

“Indikator dan justifikasi revisi regulasi yang saat ini didorong oleh Kementerian Kesehatan perlu ditinjau ulang,” tegas Benny.

Ketua Umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan, mengungkapkan PP 109/2012 yang berlaku saat ini masih relevan untuk diterapkan, meski pelaksanaannya masih banyak kekurangan.

“Pemerintah seharusnya mengutamakan dan memperkuat aspek sosialisasi, edukasi, serta penegakan implementasi," serunya.

Henry menilai usulan revisi PP 109/2012 lebih mengarah kepada pelarangan, bukan pengendalian. Hal ini dapat membuat kelangsungan iklim usaha IHT, sebuah usaha yang legal, menjadi semakin restriktif di Indonesia.

“Padahal, kalau mengacu kepada ketentuan perundangan-undangan, seharusnya ditekankan pada pengendalian, bukan pada pelarangan," serunya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai industri hasil tembakau memiliki kontribusi besar, bukan hanya terhadap penerimaan negara tetapi juga lapangan kerja dan perputaran ekonomi masyarakat.

Dia menyebut, pada 2023, penerimaan cukai IHT diperkirakan akan mencapai Rp 228 triliun. Angka tersebut naik sekitar Rp 19,96 triliun atau sekitar 95 persen dibandingkan tahun lalu.(chi/jpnn)


Redaktur & Reporter : Yessy Artada

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler