PPATK Harus Sita Duit Judi Online Rp 86 Triliun yang Dinikmati Bank, E-Wallet & Operator Seluler

Selasa, 10 Desember 2024 – 07:37 WIB
Perputaran besar uang judi online. Ilustrasi/ Foto: dok.JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Sepanjang 2017-2024, Center for Banking Crisis (CBC) mencatat pendapatan bank, e-wallet dan operator seluler yang memfasilitasi transaksi judi online (Judol) yang seharusnya dikembalikan ke negara sekitar Rp 86,3 triliun.

Dana tersebut, nantinya dapat digunakan untuk program makan bergizi gratis pada tahun 2025.

BACA JUGA: Polda Sumut Ajukan 365 Situs Judi Online ke Komdigi Untuk Diblokir

“Berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), lembaga tersebut memiliki kewenangan untuk mengambil pendapatan Judol (judi online, red) di lembaga pembayaran seperti bank, aplikasi e-wallet atau layanan keuangan digital melalui operator seluler yang bisa menjadi media pembayaran Judol,” kata Anggota Komisi III dari Fraksi PKS Aboe Bakar Al Habsy, Jakarta, Selasa (10/12/2024).

Jika PPATK tidak bisa mengambil uang dari transaksi Judol di bank, operator seluler, kata Ustaz Aboe Bakar, sapaan akrabnya, pemerintah perlu menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).

BACA JUGA: Polda Sumut Ajukan Pemblokiran 365 Situs Judi Online ke Kementerian Komunikasi dan Digital

"Isi Perppu adalah adalah menambah kewenangan PPATK agar bisa mengambil dana transaksi Judol di lembaga sistem pembayaran resmi seperti bank, aplikasi e-wallet atau operator seluler," terang Ustaz Aboe Bakar.

Dengan pemberian kewenangan PPATK itu, kata dia, akan mempercepat pemberantasan Judol yang sampai saat ini belum mampu diatasi. Sebab sistem pembayaran tidak bisa offline dengan alasan akan merugikan nasabah lain yang bukan pelaku Judol

BACA JUGA: PPATK Bicara soal Pemblokiran Rekening Bank terkait Judi Online

“Adanya penarikan dana-dana itu akan memberikan efek jera kepada lembaga penyedia sistem pembayaran yang selama ini terkoneksi dengan merchant Judol," ujar Ustaz Abu Bakar.

Dia menyebut bank, e-wallet serta operator seluler yang memfasilitasi Judol, baik sengaja maupun tidak disengaja diancam penjara hingga 6 tahun dan denda maksimal Rp 1 miliar, berdasarkan UU ITE Pasal 27 Ayat (2) dan Pasal 45 Ayat (2).

Selain itu, Pasal 303 KUHP juga mengatur hukuman hingga 10 tahun penjara atau denda Rp 25 juta bagi pelaku perjudian.

Selain itu, bank dapat kehilangan dana hasil Judol yang dianggap sebagai hak pemerintah, dan pendapatan dari aktivitas ilegal ini akan disita.

“Sanksi ini menegaskan bahwa keterlibatan dalam Judol tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga membawa risiko serius bagi reputasi dan operasional bank,” papar Ustaz Aboe Bakar.

Saat ini, berdasarkan data intelijen dari Kemenko Politik dan Keamanan, jumlah masyarakat yang bermain Judol sepanjang 2024, mencapai 8,8 juta orang. Sebanyak 80 persen di antaranya adalah masyarakat menengah ke bawah.

"Jadi, Judol merusak kehidupan masyarakat, baik sosial ekonomi, kesehatan dan mental. Di sisi lain, ada yang menikmati Judol dari sistem transaksi yang melibatkan lembaga pembayaran seperti bank, dan e-wallet," imbuhnya.

Pandangan senada disampaikan Presiden Direktur Center for Banking Crisis (CBC) Achmad Deni Daruri.

Judol sebagai fenomena global yang berkembang pesat di era digital, menjadi masalah yang mendesak diselesaikan pemerintah.

“Kemudahan sistem pembayaran Judol melalui bank, a-wallet dan pulsa meluas karena lemahnya pengawasan perbankan oleh OJK dan pengawasan sistem pembayaran oleh Bank Indonesia," kata Deni.

Abu Bakar mengatakan saat ini, koneksi pembayaran melalui API (Application Programming Interface) dari perbankan atau e-wallet ke penyedia sistem pembayaran (PJP), sangatlah mudah. Ini melemahkan E-KYC (Electronic know your costumer) dan E-KYB (Electronic Know Your business).

"Banyak perbankan dan e-wallet yang tidak tahu atau pura-pura tidak tahu adanya koneksi dalam sistem pembayaran di internalnya terkoneksi merchan berbasis Judol," ungkapnya.

Saat ini, kata dia, PJP yang mendapat izin operasi dari BI sesuai PBI No.22/23/PBI/2020 dan PJP yang mendapat izin PSE (penyelenggara system elektronik) PP Nomor 71/2019 dari Menkodigi, banyak yang berevolusi menjadi media transaksi pembayaran dan merchan Judol. Inilah yang menyebabkan Judol berkembang pesat.

"Perbankan, a-wallet, operator seluler adalah media yang digunakan untuk pembayaran Judol secara digital. Nah, Layanan tersebut, mendapat untung atau cuan atau Fee pendapatan dari setiap transaksi Judol," kata Deni.

Berdasarkan data Center for Banking Crisis (CBC), pendapatan bank dari Judol yang seharusnya dikembalikan ke negara sepanjang 2017-2024, mencapai Rp 70,6 triliun.

Sedangkan pendapatan e-wallet dari Judol yang seharusnya dikembalikan ke negara periode 2017-2024 mencapai Rp 11,5 triliun.

Sementara itu, pendapatan sejumlah operator seluler sepanjang 2017-2024 mencapai Rp 4,2 triliun. Kalau ditotal mencapai Rp 86,3 triliun.

"Selain itu, beberapa transaksi yang diblokir OJK senilai Rp 101 trilliun yang melibatkan 6.400 rekening bahkan lebih, tersangkut Judol. Selanjutnya, harus menjadi deposito pemerintah," kata Deni.

Seluruh dana yang tersangkut aktivitas Judol, kata Deni, maka sesuai hukum, uang tersebut disita oleh negara, sebagai bagian dari tindakan penegakan hukum.

“Agar penarikan dana di layanan sistem pembayaran tidak terganggu sebaiknya ditarik secara bertahap selama setahun dan pajak yang telah dibayar atas hasil pendapatan tersebut diperhitungkan sebagai pajak yang bayar dimuka,” katanya.

Selain itu, lanjut Deni, pendapatan bank, aplikasi e-wallet dan operator seluler dari transaksi Judol akan dimasukkan dalam APBN 2025. Dan, dana tersebut dapat digunakan untuk program makan bergizi gratis.

"Proses penyitaan dilakukan melalui mekanisme penyelesaian di luar pengadilan dengan kesepakatan bahwa uang tersebut tetap diserahkan ke negara," pungkas Deni.(fri/jpnn)


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler